[Oneshot] H I M

picsart_08-09-08-55-56

H I M

.

Friendship, College-Life, Angst || Oneshot || T

.

Starring Boys24’s Isaac, OC

.

© 2016 by Gxchoxpie

.

I only own the plot

.

“Intinya, Isaac selalu ada untukku.”

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

Namanya Isaac Voo. Rambut kecoklatan. Netra almond beriris hitam. Pipinya agak tirus. Ranum merah tipis yang kerap membentuk kurva, tersenyum. Memamerkan tiga puluh dua deretan gigi putihnya yang berjejer rapi.

Namanya Isaac Voo. Posturnya tegap atletis. Walau tak setinggi teman-temannya, setidaknya kau dapat menyandarkan kepala pada bahunya bila kau lelah. Dadanya bidang, tempat lain yang nyaman untuk merebahkan kepala terutama ketika sedang memeluknya.

Namanya Isaac Voo. Ia dianugerahi sentuhan yang nyaman. Mengerti maksudku? Begini, ia senang memberikan sentuhan. Mengusap, membelai rambut, mengacak poni, menepuk punggung atau pundak, menggenggam, bahkan memeluk. Sentuhan tangannya terasa nyaman, juga aman. Tak pernah bisa ditolak. Genggamannya erat, seolah tak mau melepas. Tak sekedar menggenggam, jemarinya pun kerap ia selipkan di antara jemari yang ia genggam. Perlakuan seperti itu akan sering kau rasakan terutama bila kau sedang menyebrang jalan dengannya – dan kau adalah seorang wanita.

Namanya Isaac Voo. Pemuda dengan tungkai panjang yang jenjang. Langkahnya lebar-lebar, membuat kau yang mungil akan kelelahan sendiri untuk menyejajarkan dengannya. Saat itulah ia akan berhenti, berjongkok, lalu memberi titah padamu untuk naik ke punggungnya.

Namanya Isaac Voo. Pria empunya senyum manis nan ramah, pandangan mata yang lembut, tawa yang renyah, suara yang dalam dan sedap didengar, membuat kau langsung jatuh hati pada pandangan pertama terhadapnya.

.

Bukan. Kami bukanlah sepasang kekasih, bila itu yang kau tanyakan. Kami hanyalah teman, mungkin lebih tepatnya ia seniorku. Kami memang dekat. Teman dekat. Mungkin sahabat, bisa dibilang begitu. Atau mungkin lebih dekat dari itu. Entahlah. Yang pasti, kami memang saling menyayangi. Hanya bukan dengan rasa sayang yang dirasakan pria terhadap wanita atau sebaliknya. Bukan kasih eros yang penuh rasa nafsu. Mungkin kasih philio, kasih persahabatan atau persaudaraan.

Pertemuan pertama kali terjadi begitu simpel, tetapi mengesankan. Geli memang untuk diingat, namun indah untuk dikenang. Berulang kali adegan itu melintas di benak, tak terhitung banyaknya senyum yang terukir di bibirku begitu mengingatnya. Jangan tanyakan Isaac, ia selalu berakhir dengan tertawa bila aku mengingatkannya akan pertemuan pertama kami.

Kami pertama bertemu di depan pintu masuk gedung perpustakaan yang berlantai empat. Aku yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa baru asal Indonesia di Korea sedang kerepotan membawa beberapa map dengan berbagai kertas, mulai dari lembar administrasi hingga fotokopi bahan pelajaran. Aku terlalu sibuk untuk menata kertas-kertasku dan terlalu terfokus agar jangan sampai lembaran demi lembaran itu tertiup angin yang memang sedang berhembus cukup kencang. Tak kuperhatikan arah jalanku, hingga…

BRUK!

Kurasakan kepalaku menumbuk sesuatu. Spontan tanganku melepas genggaman, membuat map, kertas, dan beberapa buku yang ada dalam dekapanku jatuh ke tanah begitu saja. Angin bergerak lebih cepat, menggerakkan lembar demi lembar kertas-kertasku. Untungnya Tuhan baik, kertasku hanya berpindah beberapa meter di hadapanku, bukanlah terbang dibawa angin hingga tak dapat kugapai kembali.

“Aduh!” seruku, tanpa sadar menggunakan bahasa tanah air. “Maafkan aku!”

Sebuah tangan terulur, sedang menggenggam lembar administrasiku, diikuti dengan suara bariton, “Kamu orang Malaysia?”

Eh? Orang ini juga baru saja berkata-kata dengan bahasa Indonesia, walau dengan logat yang sedikit berbeda. Mungkin Melayu? Entahlah. Aku pun mendongak, merasa senang bila di negeri yang tampak asing ini aku menemukan teman satu tanah air.

Seorang pemuda juga sedang berjongkok di hadapanku, menatapku dengan irisnya yang gelap. Tatapannya lembut. Kutemukan kurva ramah dari bibirnya, yang juga kubalas dengan senyuman meski agak canggung.

Nih, kertas-kertasmu. Hati-hati ya lain kali.”

Aku meraih kertas-kertas itu, merapikannya bersama dengan kertas-kertas lain, lalu memasukkannya ke dalam map. Ketika aku bangkit berdiri, ia ikut bangkit berdiri. Aku menyunggingkan senyum tipis, menganggukkan kepala sekali, bermaksud untuk beranjak pergi –

“Namamu siapa?” ucapnya, menghentikan langkahku.

Aku kembali menoleh. Ia bertanya seolah tanpa beban apa-apa, karena kulihat bahasa tubuhnya yang masih rileks dengan senyum yang masih bertengger di sana. Aku mengerjap beberapa kali, seolah mencerna kata-katanya.

Ia mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. “Namaku Isaac Voo, mahasiswa teknik kimia tingkat dua. Kamu?”

Mahasiswa teknik kimia katanya? Tingkat dua? Kucerna informasi itu baik-baik. Perasaan orang asing terhadap pria di hadapanku ini berkurang. Mulai detik ini ia bukanlah sekadar orang asing – ia adalah kakak seniorku.

Aku membalas uluran tangannya. “Rebecca Quinn. Juga mahasiswa teknik kimia, tetapi baru masuk tahun ini.”

Woah… Suatu kebetulan,” ujarnya. “Senang bertemu denganmu, Rebecca. Nama yang cantik, by the way.”

Kata-kata itu sukses membuatku tersipu.

“Kamu orang Malaysia?” tanyanya lagi. Oh ya, aku belum menjawab pertanyaan yang satu itu.

“Bukan,” jawabku sambil menggelengkan kepala. Kemudian aku menambahkan, “Aku berasal dari Indonesia.

Ah, Indonesia…” Ia mengangguk. “Setidaknya wilayah kita berdekatan, kan?”

Probably?

Ia melirik sebentar jam tangan Rolex – entah asli entah imitasi – yang melingkari pergelangan tangannya, kemudian kembali menatapku. “Sepertinya aku harus kembali. Kelasku akan dimulai dalam sepuluh menit lagi. Aku tidak ingin terlambat karena perlu kau ketahui, Professor Kim yang mengajar tingkat dua sangatlah galak.”

Kuanggukkan bola kepala. “Baiklah.”

“Kapan-kapan bisa bertemu lagi?” tanyanya.

Kuukir sebuah senyum tipis. “Belum bisa berjanji, tetapi mungkin kalau ada waktu luang, aku bersedia.”

Tangannya bergerak untuk mengusap – lebih tepatnya mengacak – poniku, membuatku terkejut dan refleks mundur satu langkah ke belakang, kaget akan perlakuannya yang tiba-tiba. Dan, ia masih rileks seperti tadi, seolah ini adalah hal yang biasa ia lakukan padaku. “Oke. Akan kupegang kalimatmu itu sebagai janji,” ucapnya, sebelum berbalik ke belakang dan meninggalkanku.

.

Pertemuan kedua kami terjadi dua minggu kemudian, di sebuah café kecil dekat kampus. Raut wajahnya tak nampak ceria layaknya pertama kali kami bertemu, nampak kusut dan lelah, menanggung banyak beban pikiran. Setelah masing-masing kami memesan segelas peach punch – yang akhirnya ditinggal tanpa tersentuh – ia menceritakan masalah yang dialaminya. Klasik, ditinggal oleh kekasihnya. Selingkuh. Ekspresi Isaac yang menyedihkan membuatku iba. Perlahan, kugenggam tangannya, meremasnya lembut.

Sejenak ia tampak terkejut, mendongak dan menatapku. Aku balas menatapnya, sambil perlahan kuberikan senyum menguatkan. Aku tak pandai merangkai kata-kata, terutama untuk menghibur atau memberi saran, tetapi setidaknya perlakuanku dapat menjadi penghiburan yang baik, kan?

***

Mungkin Isaac Voo diciptakan dengan sebuah alarm yang membuatnya tahu kapan aku membutuhkannya. Ada saat-saat di mana aku terjepit, kebingungan, kesusahan. Gundah dan gulana. Gelisah. Kacau. Tapi ajaibnya, saat itulah Isaac selalu muncul. Ia tak serta merta datang layaknya peri dan seketika memberi pertolongan. Tidak. Tak jarang aku bahkan harus menghubunginya dulu untuk meminta pertolongan. Atau mungkin ia sekedar lewat, dan saat itulah aku memanggilnya memohon bantuan. Ia tak langsung mengiyakan, memang. Tetapi biasanya walau harus beradu mulut atau meyakinkannya akan traktiran makan siang setelah ini, ia pasti akan memberi bantuan.

Intinya, Isaac selalu ada untukku.

Suatu sore, dengan kondisi tubuh yang merindukan kasur empuk, aku melangkahkan tungkai menuju apartemen tempat tinggalku. Memutuskan untuk lewat jalan pintas yang sepi, aku malah dihadapkan pada satu kelompok begal beranggotakan empat orang yang entah bagaimana tiba-tiba datang menghadangku. Satu dari mereka bersikeras meminta harta. Tentu saja aku menolak. Ingin kabur tetapi kakiku bagai ditancap di tanah, tak mau bergerak. Akhirnya, selangkah demi selangkah aku mundur sementara mereka maju mendekatiku. Rasa lelahku hilang, digantikan dengan rasa takut yang bahkan membuat tubuhku gemetar.

Di saat itu sekonyong-konyong Isaac muncul, entah dari mana. Tiba-tiba saja ia sudah berada di hadapanku, dengan punggung yang membelakangiku. Genggaman tangannya yang khas membawaku untuk bersembunyi di belakangnya. Adu mulut untuk beberapa saat, dilanjutkan dengan adu bogem. Pertarungan tak seimbang pun terjadi. Empat lawan satu. Petarung melawan mahasiswa biasa. Meski begitu, Isaac tak kenal lelah, dan kelihatannya ia cukup lihai. Beberapa kali kulihat ia menghindari pukulan demi tendangan yang dilayangkan padanya. Walau lebam, tetapi Isaac berhasil membekuk salah seorang yang kuterka sebagai pemimpin geng, karena begitu ia tergeletak, ketiga orang lainnya memilih untuk kabur.

Sebagai rasa terima kasihku, kuantar dia ke apartemenku dan mengobati luka-lukanya. Bahkan kubiarkan ia beristirahat siang di tempat tidurku.

Pernah lagi suatu malam apartemenku mengalami kerusakan listrik, hingga lampunya tak mau menyala sama sekali. Aku takut gelap, dan ini adalah mimpi buruk bagiku. Hal pertama yang kulakukan adalah menghubungi Isaac dan menceritakan keadaanku saat itu. Ia memang menertawakanku, mengatakanku bocah kecil yang takut akan kegelapan, bahkan menakut-nakuti tentang monster yang bersembunyi di bawah tempat tidurku. Tapi setelah itu ia datang menjemputku, dan malam itu aku diizinkan tidur di kediamannya.

***

Tanpa terasa pertemanan, ralat, persahabatan kami telah berlangsung kurang lebih dua setengah tahun. Banyak hal yang telah kulalui bersamanya, bahkan aku punya banyak pengalaman pertama yang kuhabiskan dengannya. Pertama kali menaiki wahana roller coaster, pertama kali mengunjungi wahana rumah hantu, pertama kali menonton film horor, pertama kali menaiki cable car, semuanya kujalani bersama Isaac. Bahkan menara Namsan, yang terkenal dengan love lock itu, tempat yang selalu ingin kukunjungi dari dulu, aku akhirnya mengunjunginya bersama dengan Isaac, tak lupa menggantungkan gembok kami yang berwarna kuning pucat dan melemparkan kuncinya bersama-sama.

Semenjak mengenal Isaac sedikit demi sedikit aku diubahkan. Aku bukanlah lagi gadis pendiam dan tertutup layaknya dulu, yang selama ini hanya memendam semua persoalan sendirian. Dengannya, aku mulai membagi kesusahanku, mulai dari cara halus dimana aku harus pandai merangkai kata agar tak menyinggung perasaannya hingga sekarang aku sudah berani menjadikan lengannya sebagai sasaran tinju bila aku sedang kesal. Dulu aku adalah gadis yang gampang merasa gugup, ditinggal berdua dengan sepupuku di sebuah ruangan saja sudah membuatku keringat dingin. Sekarang aku dan Isaac sering mengunjungi kediaman satu sama lain, bahkan hanya untuk sekedar mampir menghabiskan jatah makan siang.

Selama dua setengah tahun itu kami pernah menjalani hubungan cinta masing-masing. Aku dengan seorang lelaki bermarga Lee. Hubungan kami hanya bertahan enam bulan, lalu kandas di tengah jalan akibat perbedaan kepercayaan. Isaac pun serupa, hubungannya dengan seorang gadis hanya bertahan tujuh bulan akibat gadis itu cemburu akan kedekatan kami. Klise memang, tapi itulah kenyataan.

Lagipula Isaac juga bodoh. Ketika ditanya siapa yang ia pilih, aku atau kekasihnya, ia malah menjawab aku. Tentu saja gadis Kim itu marah, ya kan?

Begitu patah hati, kami saling membagi pada satu sama lain, lalu akhirnya memutuskan untuk mengunjungi kedai terpal merah yang ada di pinggir jalan dan memesan berbotol-botol soju. Kadar toleransi alkoholku lebih rendah dibanding Isaac, jadi seringnya aku mabuk duluan. Kalau sudah begitu aku tidak ingat apa-apa. Tahu-tahu aku bangun dengan kepala pening, lalu menyadari bahwa aku sedang berada di kamarnya yang dominan abu-abu muda.

Aku mengenal Isaac dari saat ketika ia masih santai dengan kuliahnya hingga sekarang ia sedang disibukkan oleh skripsi serta tugas akhir. Ya, akhir-akhir ini ia amat sibuk. Frekuensi pertemuan kami makin sedikit, serta waktu senggangnya makin menipis. Ia sedang berada di tahun terakhir kuliahnya, sedang berjuang demi kelulusan. Aku mengalah. Aku memutuskan untuk tak terlalu mengganggunya. Aku memang sering mengunjungi apartemen tempat tinggalnya, sekedar memastikan ia sudah makan atau memastikan ia masih hidup. Terkadang bila Isaac sedang larut dalam sesuatu, ia akan melupakan hal-hal lain bahkan hal penting sekalipun. Aku takut kalau ia lupa waktu makan ia akan jatuh sakit, dan tentu itu akan makin mempersulit tugas akhirnya.

Puji Tuhan, setelah sempat harus mengulang skripsi satu kali, skripsi berikutnya diterima. Ia bahkan telah mengikuti sidang dan mendapat nilai yang cukup baik. Sekarang tinggal menunggu hari kelulusan.

Dua minggu menuju hari kelulusan, ia memintaku bertemu di taman dekat kampus. Aku yang hari itu sedang menganggur pun menyetujuinya. Ketika aku sampai di taman, Isaac sedang duduk di sebuah bangku dekat air mancur, menyambut dengan senyuman manisnya.

“Hai,” sapanya. “Sorry tiba-tiba menyuruhmu kemari.”

No problem,” sahutku. “Kamu sudah baikan?”

Perlu diketahui, kemarin ketika sedang bermain futsal, Isaac dikabarkan pingsan dan segera dibawa ke klinik terdekat. Aku yang saat itu sedang mengerjakan tugas penelitian di laboratorium di kampus tak dapat berbuat apa-apa – atau aku harus mengulang percobaanku dari awal. Jadi kemarin aku hanya dapat memanjatkan berlaksa doa dalam hati. Malamnya, begitu aku hubungi Isaac, ia mengatakan sudah berada di apartemennya dan menenangkanku bahwa kejadian hilangnya kesadarannya bukanlah suatu hal yang besar.

Isaac bungkam. Kutatap wajah tirus yang pucat itu. Kedua tanganku terulur menangkup pipinya. “Kamu sudah baikan?”

Ia tersenyum. Bukan dengan senyum ceria seperti biasanya, bukan dengan senyum ramah seperti tadi ia menyapaku. Kurva kali ini terlihat seperti dipaksakan. “Rebecca, aku sakit,” ujarnya.

Aku mengerjap. “Huh?”

“Kanker paru-paru akut. Stadium tiga.”

Rasanya bagaikan jutaan godam datang bertubi-tubi menghantam dadaku. Layaknya seluruh oksigen di sekitarku dihisap. Tenggorokanku tercekat. Lidahku mendadak kelu.

“Bohong,” Itu akhirnya respon pertama yang kuberikan padanya.

Ia tidak berkata apa-apa. Tatapannya nanar ke depan. Kuteliti ekspresi wajahnya, atas hingga bawah, bawah hingga atas. Tak kutemukan setitikpun dusta yang tersirat, dan setahuku Isaac bukanlah insan yang pintar bersandiwara.

“Kamu … benar-benar sakit?” Suaraku bergetar.

Isaac tak menjawab. Tangannya bergerak merogoh sesuatu dari kantong mantel hitamnya, lalu keluar dengan menggenggam sebuah kertas putih. Ia menyodorkannya padaku, menyiratkan untuk membaca. Aku menggeleng. “No, thanks. Aku tidak pandai membaca surat dokter.”

Bohong. Yang sebenarnya adalah aku tidak siap menerima kenyataan.

Dan sepertinya Isaac mengetahui dustaku. Ia memaksaku untuk membuka surat itu, yang rupanya telah diberi stabilo kuning khusus pada bagian diagnosisnya beserta dengan penjelasan singkat menggunakan pensil.

Kanker paru-paru stadium tiga dengan vonis hidup paling lama satu tahun. Begitu kira-kira.

Mataku terasa panas. Dua sekon berikutnya air mata berkumpul di pelupuk mataku. Seketika pandanganku buram akan air mata. Butir demi butir jatuh, mengalir di pipi, layaknya menggali sungai kecil. Kukembalikan surat itu pada sang pemilik dengan tangan bergetar.

“Kenapa?” tanyaku.

Ia menatapku tak mengerti.

“Kenapa harus kamu?”

Tangan Isaac terulur, membelai wajahku lembut. Aku memejamkan mata, menikmati sentuhannya, seraya air mata kembali merembes.

“Kau tahu, Rebecca?” Ia mulai berkata-kata. “Banyak hal baik yang sudah kuterima selama aku hidup, dan tak pernah sekali pun keluar dari mulutku pertanyaan kenapa?. Apakah untuk satu kali ini, untuk satu cobaan ini, aku pantas berkata kenapa?”

Kata-katanya berhasil membuatku bungkam, walau tak berhasil mengusir kesedihan dalam batinku.

“Maafkan aku,” ujarnya.

“Untuk apa?”

Jemarinya bergerak untuk menghapus air mataku. “Untuk membuatmu khawatir.”

Bodoh! Aku mengumpat dalam hati. Memangnya sebuah permintaan maaf akan menyelesaikan semuanya? Memangnya frasa penuh penyesalan itu bisa menghilangkan kegalauan yang menggerogoti jiwa?

“Bagaimana kalau suatu saat aku merindukanmu?” tanyaku dengan suara bergetar.

Senyum menenangkannya terukir. “Saat itu aku akan mendatangimu.”

Keningku mengernyit. “Maksudmu?”

“Saat kau rindu padaku, pejamkan matamu erat-erat. Kau akan merasakan presensiku saat itu.”

Meski terdengar cukup menghibur, tetap saja itu adalah suatu hal yang menggelisahkan.

“Jangan pergi,” pintaku.

“Maaf, untuk hal itu aku tak bisa berjanji.”

Mendengarnya, kembali aku terisak. Tak dapat kutahan air mataku untuk tidak tumpah. Aku menutup tangan dengan mulut, mencoba meredam suaranya. Tubuhku bergetar menahan tangisan agar tak berkembang menjadi sebuah raungan, walau rasanya hati ini sangat sesak.

Dengan sekali gerakan, Isaac membawaku dalam dekapannya. Tangannya melingkari tubuhku, membuatku yang bertubuh mungil bagai tenggelam dalam pelukannya. Kusandarkan kepala pada dadanya yang bidang sambil terus menangis. Telapak tangan Isaac bergerak untuk menepuk-nepuk punggungku.

“Aku …” ucapku di sela-sela isakan, “menyayangimu ….”

“Aku juga.”

Tangisanku makin menjadi-jadi.

“Kau adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan berikan untukku, Rebecca. Tak terhitung banyaknya rasa syukur yang kupanjatkan karena dipertemukan denganmu.”

Kucerna ucapannya, kata demi kata, mencoba meresapi setiap makna yang terkandung di dalamnya. Semakin kupahami, semakin sakit rasanya hati ini.

***

Hari kelulusannya. Kukenakan baju terbaik yang aku punya – blazer putih dengan celana panjang hitam. Rambut kugerai rapi, mengenakan jepit untuk merapikan poni yang agak menjuntai. Kububuhi wajahku dengan sedikit pemoles pipi serta gincu sebagai pemerah bibir. Tak lupa juga kubawa buket bunga mawar putih yang telah kupesan sehari sebelumnya.

Di hari istimewa Isaac, aku juga ingin tampil istimewa. Untuknya.

Ia memang tak menjadi mahasiswa terbaik yang diizinkan mewakili lulusan lainnya untuk mengucapkan pidato terima kasih. Namun berhasil menemukannya di antara ribuan lulusan lain sudah cukup membuatku senang. Sepanjang acara, tak dapat kulepas tatapanku dari Isaac. Mataku terus-menerus menatapnya.

Senyum bahagiaku ikut terukir ketika kulihat ia menjadi salah satu lulusan yang ikut melemparkan toga ke angkasa, menandakan tanda tamat belajar mereka.

Menghampirinya yang sedang mengambil selca dengan seorang gadis sesama lulusan, kusodorkan buket bunga mawar itu padanya, diiringi senyum manis. Matanya berbinar-binar begitu menyadari presensiku. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung menarikku dalam pelukannya.

“Aku lulus, Rebecca! AKU LULUS!”

Tanpa bisa kucegah air mataku mengalir – air mata kebahagiaan. “Selamat!” balasku.

Kami mengambil foto bersama beberapa kali, kemudian ia kembali bergabung dengan teman-teman seangkatannya. Menatap kepergiannya, aku hanya bisa tersenyum bahagia. Lupakan semua masalah yang sebenarnya sedang melanda, hari ini aku hanya ingin melihat kegembiraannya.

Dua hari kemudian, Isaac tak lagi bisa ditemui di kediamannya. Tetangga sebelah apartemennya memberi tahu bahwa kemarin Isaac telah kembali ke negara asalnya, Malaysia. Seluruh barang-barangnya telah dibereskan, apartemennya telah dikosongkan. Bahkan ia memberi tahu kalau sudah ada calon penghuni baru yang akan mendiami apartemen Isaac.

Kulangkahkan kakiku memasuki apartemen yang kini kosong tersebut. Meski tanpa perabotan, aku masih dapat mengenali ruangan demi ruangannya. Satu per satu kenangan menghampiri memoriku. Kenangan akan aku yang tidur di kamarnya saat listrikku rusak, akan ia yang mengundangku untuk makan malam, kami yang menghabiskan sore hari untuk menonton film komedi-romantis ditemani semangkuk berondong jagung, dan berbagai kenangan lainnya.

Dalam hati, sekeping tanya kuucapkan.

Isaac, dimanakah kau? Mengapa kau tak memberitahuku apa-apa?

***

Sore itu, aku sedang melaksanakan tugas harianku menyapu apartemen, ketika ponselku berdering. Dengan sebelah tangan masih memegang sapu, kuangkat panggilan masuk tersebut. Sebuah nomor yang sepertinya belum pernah kusimpan di kontakku.

“Halo?” sapaku.

“Bisa bicara dengan nona Rebecca Quinn?”

“Saya sendiri. Ini dengan siapa?”

“Apakah anda kenal dengan Isaac Voo?”

Nama itu …

Aku baru sadar sudah lama aku tak menghubunginya.

“Ya, saya mengenalnya. Ada apa?”

Terjadi jeda selama beberapa sekon di ujung telepon. Aku baru saja hendak memastikan sang penelepon masih di tempatnya ketika suaranya kembali memasuki saluran telepon. “Saya menelepon dari Malaysia, hendak mengabarkan sebuah berita buruk untuk anda.”

Aku menegak ludah. Sapu dalam genggamanku terlepas begitu saja. Kerongkonganku rasanya tercekat.

“Berita buruk apa?” tanyaku, walau tak yakin siap untuk mendengar jawabannya.

Jeda kembali. Mungkin sang penelepon sedang menyusun kata-kata yang masih layak kudengar, mungkin ia sedang mempersiapkan hatiku agar jangan terlalu remuk.

“Isaac… meninggal dunia. Beberapa menit yang lalu.”

Tak mampu lagi aku menopang badanku sendiri, hingga aku harus menyandarkan punggung pada dinding terdekat sebelum tubuhku lunglai ke lantai.

Lemas aku mendengar kabarnya.

***

Satu tahun kemudian …

“Hai ….”

Senyumku perlahan mengukir seraya dwimanikku menatap kotak kaca dihadapanku. Rasa rindu kembali menyusup di hati, yang berusaha kuobati dengan menatap dua lembar foto di dalam kotak. Yang satu adalah foto keluarga, dengan sosoknya yang sedang tersenyum pada kamera sambil merangkul kedua orang tuanya.

Selembar lagi adalah foto kami berdua, sedang mengenakan bando telinga Mickey serta Minnie Mouse. Aku ingat dimana foto itu diambil. Menara Namsan. Sebelah tangannya memegang es krim vanilla, sebelah lagi merangkulku erat. Kami berdua tersenyum lebar. Terlihat bodoh memang, tapi hari itu kami betul-betul bahagia.

“Maafkan aku karena butuh waktu lama untuk berkunjung. Akhir-akhir ini aku sibuk dengan tesisku. Kamu tahu? Professor Kim menolak skripsiku hingga lima kali! Hah! Aku hampir mau bunuh diri saja rasanya!”

Kuletakkan jemariku pada permukaan kaca, seolah saat itu aku sedang menyentuh wajahnya. “Untunglah kakak senior lain yang pernah kau perkenalkan padaku waktu itu, yang sempat memberi surat cinta walau berakhir dengan kutolak, menolongku. Ia membantuku mencari proposal penelitian berikutnya, bahkan tak segan membantuku melakukan penelitian. Puji Tuhan, aku dapat lulus dengan nilai yang baik!”

Kotak kaca itu masih membisu. Yah, apa yang kuharapkan memangnya? Sebuah jawaban dari kotak kaca? Bukankah aku justru akan lari terbirit-birit seandainya mendengarnya?

“Aku sedang mencari lowongan pekerjaan. Kupikir menjadi lulusan teknik kimia itu akan langsung mendapat pekerjaan yang mapan. Ternyata mencari pekerjaan tak semudah yang kukira.”

“Omong-omong, kenapa kau pasang foto kita di sini? Dan kenapa harus foto bodoh itu? Ah, sudahlah. Berani-beraninya kau masih terlihat tampan walau dengan telinga tikus sebesar itu.”

“Isaac, aku pulang dulu. Keluargaku pasti sudah bertanya-tanya kenapa aku begitu lama. Ya, aku memang sedang dalam rangka berlibur ke Malaysia, dan aku merengek pada papa untuk diizinkan mampir ke sini. Demi dirimu, Isaac, demi dirimu! Kau harus berterima kasih padaku kelak!”

Sekali lagi, kulemparkan seulas senyum pada sang kotak kaca, tempat abu beserta kenangan lainnya tentang Isaac Voo tersimpan. Kulambaikan tangan pada kotak kaca tersebut, memberinya salam sampai jumpa.

Sampai jumpa Isaac Voo.

Terima kasih untuk segala kenangan yang telah kau berikan.

Mungkin suatu hari kita akan bertemu lagi.

Mungkin. Suatu hari kelak. Di keabadian.

-fin-

One thought on “[Oneshot] H I M

  1. Pingback: I STAN SEVENTEEN – MAGIC WORLD

How does it taste?