[Oneshot] Birthday Gift

crxlw6nuiaapwo

BIRTHDAY GIFT

.

School-Life, Friendship, Angst || Oneshot || T-rate

.

Starring SF9’s Youngbin and a girl

.

© 2016 by Gxchoxpie

.

Specially made to celebrate Youngbin’s 24th (Korean age) B’day

.

I only own the plot

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

Youngbin memang belum lama mengenal gadis Nam itu. Belum. Baru sekitar tiga minggu sejak kedatangan sang gadis pertama kali ke sekolahnya sebagai murid pindahan. Tetapi justru di hari pertama itulah Youngbin mulai merasakan ketertarikan pada gadis itu. Entahlah. Mungkin ia tertarik akan senyumnya, atau suara lembut gadis itu, atau keceriaannya. Yang pasti, sejak kedatangannya, keseharian Youngbin terasa berbeda.

Nam Bora memang bukanlah gadis cantik dengan postur model seperti kebanyakan. Ia hanyalah gadis mungil yang tingginya tak lebih dari pundak Youngbin. Juga bukan gadis yang tergolong pintar, tetapi setidaknya nilai ulangan yang selalu berada di atas kriteria ketuntasan minimal di tengah proses adaptasinya adalah suatu prestasi. Namun tetap saja bukan itu yang membuat Youngbin menyukainya.

Bagi Youngbin, Bora adalah gadis yang tergolong ceria. Seingatnya, senyum manis gadis itu tak pernah hilang dari bibirnya. Setiap pagi, Bora selalu menyapanya dengan senyum lebar, lengkap dengan tangan yang melambai kuat-kuat. Semangat gadis itu selalu terlihat besar, dan ia selalu terlihat antusias.

Bora juga adalah gadis yang cerewet. Meski belum lama saling kenal, tetapi banyak hal yang sudah Bora ceritakan pada Youngbin, mulai dari keluarga hingga sekolahnya dulu. Satu hal tentang Bora: ia selalu bercerita dengan penuh ekspresi. Tangannya akan bergerak-gerak, mimik mukanya akan berubah sesuai intonasi suara, serta matanya selalu berbinar-binar, membuat Youngbin selalu tertarik mendengar ceritanya.

Dan untungnya gadis itu mendaftar sebagai penyiar radio sekolah. Youngbin merasa talenta cerewet gadis itu tidak terbuang sia-sia. Seringkali ia sekedar duduk di kelas, mendengarkan sungguh-sungguh ketika Bora sedang waktunya siaran.

Pernah satu kali Youngbin mengungkapkan perasaannya terhadap Bora, diiringi sebuah teddy bear merah muda kecil dan sebatang cokelat susu, tetapi gadis itu hanya tersenyum manis dan mengucapkan penolakannya secara halus, bahwa mereka lebih baik menjadi sepasang sahabat saja daripada harus menjadi kekasih. Youngbin sempat kecewa, memang, tetapi setelahnya gadis itu tetap memperlakukannya hangat seperti biasa, membuat hati Youngbin perlahan membaik.

***

“Bora pingsan!”

Kalimat itu sukses mengalihkan atensi Youngbin dari program robotic-nya lima belas menit yang lalu. Dengan bergegas ia berlari meninggalkan ruang komputer, dan kini pemuda itu tengah berada di ruang kesehatan sekolah, tepatnya duduk di samping tempat tidur tempat Bora berbaring. Kedua mata gadis itu terpejam, selimut menutup hingga dagunya, sementara Youngbin menunggu dengan gelisah.

Akhir-akhir ini memang Youngbin mendapati kondisi fisik Bora tidak dalam keadaan baik. Gadis itu sering duduk dengan kepala tertelungkup di atas meja. Atau berlari sedikit di pelajaran olahraga dan terengah-engah hebat hingga sesak. Berkali-kali juga Youngbin mendapati wajah gadis itu amat pucat. Tetapi ketika ditanya, gadis itu tak berkata apa-apa.

“Uhh … “

Erangan lemah itu spontan membuat kepala Youngbin menoleh, dan hembusan leganya sontak keluar mendapati gadis Nam itu membuka matanya.

“Nam Bora! Kau sudah sadar?” tanyanya, tanpa sadar dengan suara yang sedikit keras.

“Uh, aku di mana?”

“Ruang kesehatan. Tadi kau pingsan, jadi – “

Gadis itu tiba-tiba terduduk. Matanya membelalak. “Aku? Pingsan?!”

“Ya,” sahut Youngbin. “Tapi tenang saja, untungnya – “

Kata-kata Youngbin kembali terpotong ketika Bora tahu-tahu turun dari tempat tidurnya dan segera mengenakan sepatu. Kemudian gadis itu segera berlari meninggalkan ruang kesehatan. “Aku pergi dulu!” serunya sambil berlari.

Meninggalkan Youngbin yang kebingungan.

***

Esoknya, Bora tidak masuk. Youngbin memang agak khawatir, tetapi Bora telah mengirimkan sebuah pesan singkat bahwa ketidakhadirannya disebabkan oleh adanya acara keluarga mendadak, dan ia akan segera mengabarkannya nanti pada wali kelas mereka. Bora juga meminta Youngbin untuk tidak mengkhawatirkannya. Perasaan lega perlahan mengisi hati Youngbin.

Tetapi Bora tidak masuk bukan hanya hari itu saja, tetapi esoknya, esoknya, dan esoknya. Bora selalu mengirim pesan yang sama pada Youngbin, tetapi anehnya ketika Youngbin mengirim pesan balasan, Bora tidak menjawab. Ketika Youngbin mencoba menghubunginya, operator mengatakan bahwa ponsel Bora tidak aktif. Kalimat ‘jangan mengkhawatirkanku’ dari Bora sudah tak ampuh lagi untuknya. Rasa cemasnya tak bisa hilang. Sayangnya, Youngbin tak punya kontak Bora yang lain atau alamat rumah gadis itu.

Hari kelima setelah insiden pingsan, Bora kembali masuk ke sekolah. Wajahnya memang masih terlihat pucat, tetapi senyumnya tidak hilang. Setidaknya pagi itu Bora masih menyapa Youngbin seperti biasa, dengan kurva lebar dan lambaian tangan kuat.

Tetapi sepertinya itu adalah sapaan Bora terakhir untuk Youngbin.

Setelahnya, gadis itu tak lagi menyapanya. Bila Youngbin duluan yang menyapa, Bora hanya membalas dengan senyum tipis lalu cepat berlalu atau membuang muka. Bila mereka berpapasan, Bora hanya menunduk dan mempercepat langkah. Jelas sekali terlihat bahwa ia menghindari semua interaksi dengan Youngbin. Hal ini membuat pemuda itu bertanya-tanya, kesalahan apa yang ia perbuat sehingga Bora harus bertindak seperti itu? Apakah Bora marah terhadapnya?

Tetapi seingatnya mereka tidak pernah bertengkar. Baiklah, berbeda pendapat yang menghasilkan perdebatan kecil memang pernah, tetapi rasanya tidak parah hingga membuat Bora harus mendiamkannya seperti ini. Masalahnya, bukan hanya sehari atau dua hari Bora mengabaikannya, tetapi ini sudah memasuki hari keempat. Jadi, terang saja ada sesuatu yang salah.

Tapi apa?

***

Youngbin sudah tidak tahan lagi. Memasuki hari ketujuh setelah awal Bora mendiamkannya, Youngbin merasa bahwa ia harus menyelesaikan kesalahpahaman ini. Ia tidak mau Bora terus menerus mengabaikannya tanpa alasan. Setidaknya, ia harus mendengar alasan gadis itu, dan Bora juga harus mendengarkan dari sisinya. Youngbin ingin meluruskan semuanya, lalu membangun interaksi mereka seperti semula, di mana mereka bisa asyik bercengkrama dan tertawa bersama.

Ya! Nam Bora!”

Youngbin berseru begitu melihat sosok gadis ber-pony tail itu berjalan beberapa meter di hadapannya, sambil memeluk sebuah map erat. Gadis itu terlihat terkejut, dan cepat-cepat berbalik membelakangi Youngbin, lalu berjalan menjauh. Firasat Youngbin akan gadis itu menghindarinya terasa makin benar. Youngbin pun melangkah mencoba menyusul Bora,

ketika gadis itu tiba-tiba terjatuh.

“Bora!” Setengah berlari, Youngbin menghampiri Bora. “Gwaenchanha?”

Gadis itu terlihat terengah-engah. Sebelah tangannya berkali-kali mengepal, lalu terarah ke dada. Ringisan terselip di setiap nafasnya. Sembari itu, tangannya sibuk merapikan kertas-kertas yang berhamburan di lantai, dibantu oleh Youngbin.

Ketika kertas-kertas telah terkumpul, keduanya berdiri. Berhadap-hadapan, masing-masing diliputi rasa canggung. Bora hanya menunduk.

“Kenapa kau menghindariku?” Akhirnya kalimat itu lolos dari bibir Youngbin.

“Maaf,” sahut Bora lirih.

Youngbin menggelengkan kepala. “Aku tidak butuh maaf. Aku hanya butuh penjelasan, apa yang membuatmu menghindariku selama ini. Kalau aku punya salah padamu, aku minta maaf. Kalau kau tak suka berada di dekatku, katakan saja. Aku tak akan mendekatimu lagi. Tetapi setidaknya beri penjelasan padaku, agar aku tidak bingung.”

Bora terlihat membasahi bibir bawahnya sejenak sebelum menjawab,”Maafkan aku, Youngbin-ah. Ada beberapa hal yang tak bisa kujelaskan padamu. Tetapi, aku sedang ingin membuatmu mencoba untuk melupakanku.”

Tentu saja Youngbin mengernyit. “Mwo? Melupakanmu? Tapi, kenapa?”

“Aku tak bisa menjelaskannya. Tapi, kumohon, Kim Youngbin. Lupakan aku. Kita tak bisa selamanya bersama. Ada saat di mana kita harus berpisah, dan ketika saat itu tiba, aku tak mau melihatmu sedih. Jadi kupikir aku harus membiasakanmu terlebih dahulu.”

Belum sempat Youngbin berkata-kata, gadis itu berbalik. Masih dengan map biru dalam dekapannya, Bora berjalan menjauhi Youngbin, kembali meninggalkan Youngbin dalam kebingungan ketika mencerna kata-katanya.

Tak jua menemukan jawaban setelah satu menit merenung di tempat yang sama, Youngbin pun memutuskan untuk berbalik, meninggalkan tempatnya berpijak. Saat itulah ia melihat sebuah amplop putih tergeletak di lantai. Tangannya terulur untuk mengambilnya. Ia menengok ke belakang sejenak, lalu menyadari bahwa Bora pasti sudah berjalan jauh. Akhirnya, karena penasaran, Youngbin merobek sisi amplop itu sedikit, mengeluarkan isinya yang berupa sebuah kertas terlipat, membuka lalu membacanya.

Semakin ia membaca surat itu, dadanya terasa makin sesak. Kepalanya terasa pening, tangannya gemetar, dan kakinya serta punggungnya terasa lemas. Youngbin bahkan butuh untuk bersandar di dinding terdekat atau ia akan terjatuh ke lantai. Matanya terasa panas bagai ingin menangis sekarang.

Mendadak ia berdiri, lalu berlari sekuat tenaga menuju kelasnya, tempat yang ia bisa perkirakan Nam Bora berada.

***

“Nam Bora!”

Youngbin tidak peduli walau suaranya mengagetkan beberapa penghuni kelas yang sedang bercengkrama di sana. Masih dengan rasa tak percaya bercampur frustrasi di kepalanya, Youngbin menguntai langkah lebar menghampiri meja Bora di pojok belakang, lalu setengah melempar surat berkop rumah sakit itu di meja sang gadis.

“Sekarang tolong jelaskan padaku apa maksudnya ini!”

Bora melihat sejenak lembaran kertas di atas mejanya, dan seketika maniknya membulat. Ditatapnya kertas tersebut dan Youngbin bergantian.

“I-ini, bagaimana bisa ada padamu?”

“Terkejut?” tanya Youngbin balik. “Kau meninggalkannya saat terjatuh dengan mapmu tadi. Thanks to that sekarang aku tahu dusta yang selama ini kau simpan. Tapi, bolehkah aku meminta penjelasan?”

“Youngbin-ah ….” Bora membasahi bibir bawahnya. Ditatapnya Youngbin sendu. “Bukan itu maksudku. Aku hanya – “

“Hanya apa? Jadi ini alasanmu menghindariku selama ini, huh?!”

Bora tidak berkata apa-apa. Ia hanya bangkit berdiri, lalu tangannya menggamit lengan Youngbin dan membawa pemuda itu keluar kelas. Mungkin ia menyadari bahwa tadi teman-teman sekelas mulai menaruh perhatian pada percakapan mereka.

Setelah menaiki berpuluh-puluh anak tangga – disertai sesekali berhenti karena Bora terlihat terengah-engah – kedua insan itu sampai di atap sekolah. Hanya mereka berdua di tempat yang kosong dan luas itu, ditemani oleh angin yang bertiup cukup kencang.

“Kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Youngbin.

“Karena aku tak bisa menjelaskannya di kelas. Tidak dengan semua mata tertuju pada kita tadi.”

“Baiklah.” Youngbin melipat tangan di depan dada. “Sekarang hanya ada kita berdua, jadi kau bisa memberi penjelasan, kan?”

Bora menarik napas panjang berkali-kali sebelum mulai menceritakan kisahnya. “Tapi kumohon biarkan aku bercerita sampai selesai. Jangan menyela atau memberi komentar, oke?”

Youngbin hanya memberi anggukan sebagai respon.

“Ya, aku memang divonis terkena kanker paru-paru sejak dua tahun lalu. Kondisi kesehatanku makin lama kian memburuk. Satu-satunya alasanku untuk pindah ke sekolah ini hanya karena ini sekolah yang terdekat dari rumah sakit tempat aku biasa dirawat dan di mana dokter pribadiku bekerja.”

“Mengenai soal hindar-menghindari, ya, aku memang menghindarimu. Dokter memvonis bahwa sisa waktuku tidak banyak, itu sebabnya aku memutuskan untuk menghindarimu. Aku tahu sakitnya rasa kehilangan, dan aku tidak mau kau mengalaminya. Itu pula yang membuatku menolak perasaanmu beberapa waktu yang lalu, karena aku tidak mau kau terlalu sedih ketika harus kehilangan diriku.”

Youngbin masih tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. “Ke-kenapa, kenapa kau tak memberi tahu apa-apa padaku?”

“Untuk apa?” balas Bora. “Kau bisa membantu apa? Apa kau bisa menyembuhkan penyakitku seratus persen? Tidak, kan?”

“Setidaknya aku bisa menjagamu!”

“Tidak perlu, Youngbin-ah,” sahut gadis itu. “Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak mau menjadi beban bagi orang lain. Aku tidak butuh rasa kasihan. Aku hanya perlu dikuatkan, itu saja.”

“Tapi, Bora-ya – “

“Ah, ya. Satu hal lagi,” ucap gadis itu dengan senyum sedih. Bola matanya jelas-jelas memancarkan kepiluan mendalam. “Terima kasih telah berteman denganku selama ini, Kim Youngbin. Aku memang belum lama mengenalmu, tetapi terima kasih telah berada di sisiku. Terima kasih telah sabar mendengarkan aku yang cerewet, dan terima kasih pula telah membuatku tersenyum di tengah rasa sakitku. Kau membuatku selalu ingin bertahan hidup.”

Youngbin belum sempat menyahut, tetapi gadis itu telah menguntai langkah melalui pintu besi untuk memasuki gedung sekolah, meninggalkan Youngbin dengan perasaan yang berkecamuk di dada.

***

Keesokan harinya, Nam Bora tidak datang ke sekolah, begitu pula untuk lima hari berikutnya. Gadis itu hanya satu kali di hari pertama mengirim pesan singkat pada Youngbin, mengatakan bahwa ia dirawat di rumah sakit dan meminta Youngbin untuk tidak mengunjunginya, atau gadis itu tak mau bertemu dengannya lagi. Youngbin tentu saja cemas, meski di akhir pesan Bora telah meminta untuk tidak mengkhawatirkannya, tetapi saja itu tak mampu mengenyahkan pikiran Youngbin terhadap Bora.

Percuma menghubungi. Sekali lagi, Bora tak membalas semua pesannya, dan ponselnya selalu tidak aktif ketika Youngbin menghubunginya. Ini tentu saja membuat Youngbin frustrasi hingga hampir gila rasanya.

Ingin rasanya Youngbin mengabaikan permintaan Bora dan menyusul gadis itu ke ruang rawatnya, tetapi wajah Bora yang sedang menatapnya sendu tergambar di benaknya. Youngbin membayangkan Bora memintanya dengan memohon dan menatapnya seperti itu. Dibayangkannya pula bila gadis itu benar-benar marah dan sama sekali menolak kedatangannya, bahkan untuk seterusnya. Itu membuat Youngbin mengurungkan niat, meski rasanya tak rela.

Akhirnya, satu-satunya hal yang dapat Youngbin lakukan hanyalah berdoa pada yang kuasa meminta agar gadis Nam itu selalu ada dalam kuasa-Nya. Meminta agar Bora dalam keadaan baik-baik saja.

***

You have a new message!

From: Bora

Youngbin-ah! Selamat ulang tahun! ^^
Omong-omong, bisa mampir ke rumah sakit sebentar setelah pulang sekolah? Aku punya hadiah untukmu!
Semangat untuk sekolahmu hari ini! Ppyong!

***

Awalnya Youngbin ragu memasuki ruang 3056 itu. Sebelah tangannya telah menggenggam satu buket bunga, sementara sebelah lagi masih menunggu otak yang sedang menimbang apakah ia harus masuk atau tidak. Berkali-kali tangannya terulur hendak menekan kenop pintu itu atau setidaknya memberi ketukan, tetapi berkali-kali pula diurungkan niatnya. Sudah banyak ringisan yang keluar dari mulut Youngbin, menyertai pertimbangan di benaknya itu.

Akhirnya, dengan tekad bulat, Youngbin menekan kenop pintu ruangan tersebut dan membuka pintunya.

“Oh! Youngbin-ah! Wasseo?

Youngbin menolehkan kepala ke kiri. Tampak Nam Bora sedang duduk di tempat tidur rumah sakit dengan mengenakan piyama biru – piyama rumah sakit. Di atas permukaan bibirnya, sebuah selang terlihat melintang. Dan di pangkuannya terdapat sebuah kue tart cokelat kecil dengan lilin yang menyala.

“Kupikir kau tidak akan datang!” ujar gadis itu. “Ayo, cepat! Nanti lilinnya keburu meleleh!”

Senyum kecil terukir di bibir Youngbin, seraya tungkainya menghampiri sang gadis.

“Ucapkan permohonanmu sebelum meniup lilinnya!” celetuk Bora.

“Haruskah?”

Bora mengangguk kuat. “Tentu saja!”

“Baiklah ….” Youngbin membuat gestur berpikir sejenak, sambil otaknya mempertimbangkan wish apa yang harus ia buat. “Keinginanku adalah – “

Ssst!” Bora buru-buru menaruh telunjuk di depan bibirnya. “Jangan mengucapkannya di depanku, atau permohonanmu tak akan terkabul! Ucapkan dalam hati sambil kau berdoa! Aigoo … kau tak tahu istilah make a wish sebelum meniup lilin ulang tahun?”

“Tidak tahu,” jawab Youngbin tanpa rasa bersalah.

Aigoo ….”

Youngbin melakukan seperti yang Bora perintahkan. Jemarinya saling terkait dan matanya terpejam, layaknya orang berdoa. Diucapkannya permohonan dalam hati dengan sungguh-sungguh.

Sementara itu, tanpa ia sadari, Bora sedang menatapnya lekat-lekat.

Begitu selesai, Youngbin membuka mata dan langsung meniup api yang menari-nari di sumbu lilin, menyisakan asap yang dalam beberapa saat menghilang di udara.

Yeah!” Bora bertepuk tangan, sangat menggemaskan. “Selamat ulang tahun, Kim Youngbin!”

Youngbin tertawa kecil sembari tangannya terulur mengacak poni gadis itu.

Dibantu Youngbin, Bora meletakkan kuenya di atas nakas besi di sebelah tempat tidur gadis itu, dan meminta pemuda itu untuk membawanya saat ia pulang nanti.

“Youngbin-ah,” panggil Bora.

“Hmm?”

“Aku, aku akan mengikuti operasi, nanti malam. Dokter bilang, resiko operasi ini sangat besar. Kalau berhasil, aku akan sembuh sembilan puluh persen. Tetapi kalau aku gagal,” Bora terdiam sejenak, menarik napas dalam, “aku mungkin tidak selamat.”

Youngbin hanya bungkam, tak tahu harus menjawab apa. Tetapi jemarinya meremas tangan mungil Bora, memberi gadis itu kekuatan.

“Sejujurnya, aku takut. Aku takut kalau ini adalah akhir hidupku. Aku takut kalau suatu hari aku tidak bisa bangun untuk menikmati dunia. Bahkan, aku takut tidak bisa terbangun untuk menemui orang-orang yang aku sayangi, termasuk kau, Kim Youngbin.”

“Tetapi, memikirkan sisi positifnya, ada kemungkinan aku bisa sembuh. Ada kemungkinan bahwa aku bisa menjadi gadis normal lainnya yang tak perlu membebani orang lain dengan penyakit ini. Itu sebabnya aku mengambil kesempatan itu, Youngbin-ah, walau resikonya terlalu besar.”

Youngbin sampai sekarang masih belum mampu berkata-kata.

“Namun aku yakin, kalau pun aku benar-benar tidak selamat, aku masih ada – “

Bora tahu-tahu memberi sebuah sentilan kuat di kening Youngbin, membuat pria itu mengaduh keras.

“Di sini,” tambahnya dengan senyum jahil.

Ya!” Youngbin yang terkejut pun mengusap dahinya. “Kau ini lebih muda dariku, Nam Bora! Beraninya kau menyentuh kepalaku!”

“Tak masalah! Lagipula, maksudku adalah kau akan tetap mengingatku, kan? Aku yakin kalau sampai aku benar-benar harus pergi, aku pasti tak akan kau lupakan. Tetapi, tetap aku akan berjuang untuk hidup.”

Kedua sudut bibir Youngbin terangkat.

“Sampai saat itu tiba, maukah kau menungguku?” ucap Bora lemah.

Kepala Youngbin mengangguk kuat. Ditatapnya manik Bora yang berkaca-kaca dengan lekat. Bahkan, tangannya terulur, menyapu tetesan air yang menuruni pipi gadis Nam itu. “Aku pasti akan menunggumu, Nam Bora. Jalani operasimu dengan baik, tak usah pikirkan aku dahulu. Aku akan menunggu sampai kau kembali.”

Bora melingkarkan lengannya di sekeliling leher Youngbin, memeluknya erat. Youngbin membalas pelukan itu dengan tepukan dan elusan beberapa kali di kepala serta punggung Bora.

Sebelum beranjak ke rumah, Youngbin bahkan tidak lupa untuk memberi sebuah kecupan manis di kening gadis itu.

***

Sebelum berangkat ke sekolah esok harinya, satu hal yang tidak Youngbin lupakan adalah menghubungi Bora, sebab katanya pada jam itu operasi sudah selesai dan Youngbin bisa bertanya bagaimana kabarnya atau bagaimana jalan operasi. Dengan harapan tinggi Youngbin menekan nomor gadis itu di ponselnya.

Yeoboseyo?”

Suara seorang wanita dewasa. Awalnya Youngbin memang agak terkejut, tetapi ia berusaha berpikir positif. Mungkin itu ibunya Bora.

“Selamat pagi, Bu. Saya Youngbin, teman sekelas Bora. Bagaimana kabar Bora, Bu?”

Tidak ada jawaban, yang ada hanyalah isakan tangis yang terdengar pilu, membuat Youngbin bingung. Jauh di dalam hatinya ia berharap sesuatu tak terjadi pada Bora, bahwa gadis itu baik-baik saja, tetapi …

Uri Bora … operasi tadi malam … ia … tidak selamat ….”

Kalimat yang diucapkan terputus-putus dengan isakan terselip tersebut sukses membuat dada Youngbin kembali sesak. Air mata seketika berkumpul di pelupuk matanya, lalu mengalir tanpa ia minta. Tenggorokannya tercekat, dan tak bisa ia berkata apa-apa. Bahkan kakinya tak mampu menopang tubuhnya lagi dan ia jatuh terduduk di lantai. Pikirannya mendadak kosong, hatinya terasa hampa.

“Bora … Nam Bora, benar-benar pergi?”

Wanita di ujung telepon itu menangis dengan isakan yang makin keras. Sebelah tangan Youngbin terulur, menutupi mulutnya. Tak bisa ia tahan dirinya untuk tidak menangis. Isakan demi isakan mulai keluar, sementara sambungan sepertinya telah diambil alih oleh ayah Bora, karena ada suara laki-laki dewasa yang mulai menceritakan jalannya operasi pada Youngbin.

Sosok Nam Bora dengan senyum manisnya yang khas terbayang di benak Youngbin. Bora yang ceria, Bora yang cerewet, Bora yang selalu menyapanya setiap pagi, Bora yang pantang menyerah, Bora yang kadang menyebalkan tetapi lebih sering menyenangkan, Bora yang selalu berjalan bersamanya ketika keluar kelas sampai ke gerbang sekolah, dan banyak kenangan lain mengenai dirinya dan Bora yang bermunculan satu per satu di benak, membuat matanya kian memanas.

“Kau Kim Youngbin, kan? Teman baik Bora?” tanya pria di ujung sambungan itu.

Youngbin mengusap hidungnya dengan punggung tangan sebelum menjawab, “Ah, ye.

“Bora menitipkan salam ini padaku sebelum masuk ruang operasi. Ia bahkan memintaku untuk menyampaikannya padamu.”

“Ah, salam apakah, Pak?”

“Bora memintamu untuk tidak bersedih kalau sampai ia tidak dapat keluar dari ruang operasi dengan selamat. Dan ia juga bersyukur punya teman sepertimu. Ia juga memintamu untuk tidak melupakannya. Kau tak akan melupakan putriku, kan?”

Youngbin mencoba sekuat tenaga untuk tersenyum. “Tentu saja tidak, Pak. Saya pun bersyukur akan kehadiran Bora dalam hidup saya. Ia gadis yang ceria, senang tertawa, menginspirasi, dan saya senang berteman dengannya.”

Amat senang, bahkan hingga saya menyukainya.

***

EPILOG

“Jangan mengucapkannya di depanku, atau permohonanmu tak akan terkabul! Ucapkan dalam hati sambil kau berdoa! Aigoo … kau tak tahu istilah make a wish sebelum meniup lilin ulang tahun?” cerocos gadis Nam itu.

“Tidak tahu.”

“Aigoo ….”

Youngbin melakukan seperti yang Bora perintahkan. Jemarinya terlipat dan matanya terpejam seperti orang berdoa. Dalam hati, dipanjatkannya permohonan yang selama ini ingin ia ucapkan.

“Tuhan, berikan kesembuhan pada Bora. Biarlah ia menjadi gadis sehat dan riang yang dapat membahagiakan orang lain. Atau, setidaknya, limpahi ia dengan kebahagiaan, sampai ajalnya tiba.”

-fin-

2 thoughts on “[Oneshot] Birthday Gift

How does it taste?