[Ficlet-Mix] A Lie

Processed with VSCO with 3 preset

A LIE

.

Romance, Angst || Ficlet-Mix || PG-13

.

Starring
B1A4’s Jinyoung & Sandeul

.

Based on
“Because, what I said was a lie.”
–A Lie (B1A4)

.

© 2017 by Gxchoxpie & ayshry

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

[1]

Pintu abu-abu bernomor 203 itu telah terbuka, tetapi Jinyoung tak jua melangkahkan kakinya untuk masuk. Padahal sudah lima menit sejak kedatangannya Jinyoung menekan bel pintu setiap dua puluh detik, menunggu sang empunya apartemen membukakan pintu. Kenyataannya, ketika harapannya telah terwujud, Jinyoung malah hanya beradu pandang dengan Elaine Young, sang pemilik apartemen, mantan kekasihnya.

Keduanya bertukar tatapan selama beberapa saat, dengan kebisuan menyelimuti, dengan perasaan yang sulit diterka, dengan gulana yang sukar dijelaskan.

Oh, kalau ingin jujur, Jinyoung ingin melingkarkan lengannya di tubuh sang gadis, membungkusnya erat dengan sebuah pelukan. Jinyoung ingin mendekap Elaine hangat, membiarkan gadis mungil itu tenggelam dalam kehangatannya. Melepas rindu yang selama ini menggerogoti batinnya.

Namun, tidak. Sungguh lebih baik jika Jinyoung tak menuruti keinginan hatinya. Perasaan yang sudah kacau tak boleh bertambah runyam hanya karena akal sehat kalah dengan kehendak batin. Jinyoung harus menjaga gengsi. Salah, lebih tepatnya ia harus menjaga perasaan Elaine.

Gadis Young itulah yang pertama memecah keheningan yang menyesakkan tersebut.

“Ada perlu apa kemari?”

Suaranya tegas, tanpa basa-basi, dan diucapkan dengan nada yang sama sekali tak terdengar ramah.

Jinyoung membasahi bibir bawahnya, tak tahu harus menyahut apa. Sebenarnya berbagai frasa telah berkumpul di benaknya, tetapi Jinyoung tak tahu harus mulai dari yang mana.

“Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk pergi dari hidupmu?” Elaine kembali bertanya. “Lantas, mengapa masih mengunjungiku?”

Kata-kata Elaine membuat Jinyoung terpukul telak. Ucapannya benar. Pertengkaran hebat dua minggu lalu yang merupakan akhir dari hubungan manis tiga tahun mereka. Benar, Jinyounglah yang menyuruh Elaine untuk menjauh, untuk mencari kehidupan cintanya sendiri, untuk bertemu dengan pria lain yang jauh lebih baik darinya.

Meski berusaha untuk menguburnya dalam-dalam, namun memori akan bagaimana Elaine berbalik sambil menangis saat meninggalkannya hari itu masih membekas dalam ingatan Jinyoung, dan kerap membuat pemuda itu meneteskan likuid bening.

“Itu … dusta,” sahut Jinyoung akhirnya, lirih.

Huh?

Jinyoung mengangkat kepala yang sejak tadi tertunduk. Ditatapnya sang mantan kekasih dalam-dalam, mencoba membuat Elaine mengerti bahwa kini ia sedang dilanda pilu yang hebat.

“Semua yang kukatakan padamu,” Jinyoung mencoba kembali menjelaskan, “tentang menyuruhmu menjauh, memintamu mencari pria lain, bahkan pesan agar kau selalu bahagia … itu semua dusta.” Pemuda garis Jung itu menarik napas dalam. Pada bibirnya tersungging senyum getir. “Aku bersikap sok tegar, pada akhirnya akulah yang tak bisa melepasmu. Bodoh, memang.”

“Lalu?”

Manik Jinyoung membulat untuk sesaat. Hanya itukah respon dari sang gadis?

“Lalu apa?” ucap Elaine lagi. “Mari katakana bahwa semua itu hanyalah kebohongan, hanya sekedar emosi sesaat. Lantas apa? Mengulang semuanya seakan tak terjadi apa-apa? Mencoba kembali ke masa di mana kita masih bersama? Apakah dengan semua penjelasanmu, kenyataan akan berubah?”

Pemuda Jung itu kembali menundukkan kepala. Lagi-lagi frasa yang terucap oleh Elaine membuatnya bungkam.

Sebuah pukulan lemah melayang ke dada Jinyoung, disusul pukulan demi pukulan berikutnya. Tampak seperti Elaine tak dapat lagi menahan wajah tanpa ekspresinya. Setelah memejamkan mata untuk beberapa sekon diikuti air mata yang merembes keluar, isakannya pun muncul.

“Kau itu egois, Jinyoung-ah,” ujar Elaine, serak. “Kau yang bilang sendiri bahwa hubungan kita berakhir, kau menghancurkan perasaanku, dan di saat aku sudah bisa mengatasinya dengan penuh pergumulan, kau hadir, kembali memporakporandakan hatiku. Bukankah itu jahat?”

Jinyoung menghela napas. “Aku tahu.”

“Hanya itu?”

“Tentu tidak,” jawab Jinyoung seraya menggelengkan kepala. “Aku tahu setiap malam kau menangis di kamar, memandang bintang sambil bertanya apakah ini akhir dari hubungan kita. Lagu yang biasa kita nyanyikan terasa menyedihkan bila kau dengarkan, dan akan semakin membuat hatimu hancur.”

“Tahu kenapa aku paham?” lanjut Jinyoung. Senyum getirnya kembali tersungging. “Karena itu yang kulakukan selama ini.”

Isakan Elaine makin menjadi-jadi.

Jemari Jinyoung bergerak, menghapus bulir-bulir air mata yang mengalir di pipi mantan kekasihnya. Mengusapnya perlahan, seolah Elaine adalah porselen rapuh yang sewaktu-waktu dapat pecah.

“Maafkan aku, membuat hubungan kita seperti ini,” ucap Jinyoung lirih.

Elaine masih terisak.

Akhirnya, Jinyoung benar membawa gadis itu dalam dekapannya. Sesekali tangannya menepuk pundak gadis itu, sesekali juga mengelus punggungnya. Menenangkannya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Setidaknya izinkan aku memelukmu untuk yang terakhir kali,” tambah Jinyoung. Dan gadis itu tidak menolak.

Ketika isakan Elaine mulai mereda, barulah Jinyoung melepas dekapannya. Ia meletakkan kedua tangan pada pundak sang gadis, seraya menatap obsidiannya dalam-dalam.

“Berjanjilah padaku bahwa setelah ini kau akan bahagia.”

Elaine tak langsung memberi respon. Ia menggigit bibir bawahnya.

“Berjanjilah, Elaine-ah ….”

Akhirnya, gadis garis Young itu mengangguk.

.

.

“Leave me and be happy, please be more happy. I say this again.”  –A Lie (B1A4)

[2]

Casey bergeming. Sosok di hadapannya kini terlihat buram seakan ditelan kedalaman laut yang memabukkan. Namun, bukan lautan yang menenggelamkannya kini, melainkan kristal bening yang telah mengambil alih pandangan; membuat segalanya tampak samar. Casey cepat-cepat membuang pandangan sebelum airmatanya tumpah-ruah tanpa bisa ia tahan, sebelum pemuda yang tak henti menatapnya mengiba, sebelum keadaan yang tak masuk akal ini semakin menyiksanya. Casey ingin terlihat tegar, setidaknya sampai si pemuda menghilang dari pandangan.

Ketika Casey sibuk mengendalikan diri agar tak meledakkan emosi, seseorang terlihat tak kalah kacau darinya. Pemuda itu terdiam, meski ia tahu sang gadis mencoba untuk tak melepas airmata, meski ia tahu sang gadis berada dalam masa tersulitnya kini, meski ia tahu keadaan yang tak karuan kini kian memperburuk suasana.

“Aku hanya tak mengerti … kenapa kau dengan mudahnya mengatakan hal itu, Sandeul-a?” Pada akhirnya Casey membuka suara. Ada getaran yang terdengar jelas meski ia telah berusaha menyembunyikan. “Kurasa … hubungan kita selama ini baik-baik saja dan ….” Casey kembali terdiam. Lidahnya kelu. Masih banyak kata-kata yang ingin ia lepaskan, namun rasanya ada sesuatu yang salah. Ia tak mampu melanjutkan.

“Bahagiamu lebih penting dari segala hal di dunia ini, Cas.”

Kening Casey berkerut. Mencoba mencerna perkataan si pemuda barusan, Casey rasa ada yang salah dengan pendengarannya kini. Bahagia? Apa benar Sandeul baru saja menyinggung soal kebahagiaan?

“Kautahu semuanya. Kau mengerti aku lebih dari apa pun itu. Kau yang terbaik, tapi … haruskah aku mengulang alasan ketidakmampuan diri untuk tetap bersama, huh? Aku lelah, Cas. Lelah dengan segala keributan yang tercipta hanya karena kita masih ingin bersama, hanya karena kita saling mencintai. Aku lelah ….”

“Lalu kau memilih untuk menyerah? Setelah semua yang kita lakukan?”

“Aku tidak memiliki pilihan lain. Kita tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pilihan yang lebih baik.”

“Kukira kita bisa saling menguatkan satu sama lain.” Casey mendesah. Menatap langit kelam yang bahkan tak satu bintang pun menghiasi, ia rasa alam pun tak ingin berpihak padanya kini. “Kukira … kau mencintaiku.”

“Aku mencintaimu, Cas. Haruskah kau mempertanyakan perihal itu? Kau mengetahui segalanya. Baik-buruknya diriku.”

“Dan sekarang kau sedang memperlihatkan sisi burukmu, huh?”

“Cas … tak bisakah kau—“

“Tak bisa! Apa pun itu, aku tak bisa, Sandeul! Berhenti menyuruhku melakukan ini-itu dengan kedok kebahagiaanku. Omong kosong! Kau kira aku bisa bahagia tanpamu, huh? Kau kira aku bisa menjalani kehidupan tanpa kehadiranmu?”

“Kau bisa. Bahkan, sebelum mengenalku dulu … kau tetap bisa bernapas, bukan?”

“LEE SANDEUL!”

“Aku bukan seseorang yang bisa seenaknya menghabisi nyawamu! Aku tak berhak melakukannya. Kau memiliki segala pilihan itu, untuk hidup bahagia ataupun sebaliknya. Kau yang menentukannya, Cas, bukan aku!”

Casey tertunduk. Mencengkeram ujung kemejanya kuat-kuat, gadis itu tengah bertarung dengan dirinya agar tak lepas kendali. Perkataan Sandeul tak salah, ia tahu. Tetapi bukan akhir yang seperti ini yang ia mimpikan. Bukan perpisahan menyakitkan yang ia inginkan. Bukan. Casey hanya ingin hidup bahagia bersama seseorang yang mengerti dirinya, bersama seseorang yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik, bersama seseorang yang mampu mencurahkan segala kasih sayang, bersama Lee Sandeul. Yang ia inginkan hanya pemuda itu, bukan yang lain. Oleh karena itu, ia berusaha untuk memperbaiki segalanya. Ia ingin mereka tetap bersama, meski perbedaan selalu ada. Meski perdebatan lain akan menyambut mereka di masa depan, meski tak satu pun orang-orang terdekat yang menginginkan kebersamaan mereka.

“Pernikahanku lusa, kurasa aku harus memberitahukannya padamu. Maaf.”

Menatap Sandeul dengan manik berkaca-kaca, Casey tak tahu jika sang pemuda akan mengatakan hal tersebut terang-terangan. Bukan, Sandeul bukannya merahasiakan hal itu darinya, hanya saja … ia tak tahu jika hari sialan itu lebih dekat dari perkiraannya. Casey tahu bahwa Sandeul dijodohkan, dan alasan dari perdebatan kali ini adalah hal gila tersebut.

“Aku tak bisa mengelak lagi. Keluargaku sudah mempersiapkan segalanya. Dan aku … kita harus segera menyudahi segalanya, Cas. Kau dan aku … dan hubungan kita. Jadi, tak ada gunanya berkeras kepala dan mencoba bertahan. Sia-sia. Kautahu itu, dan aku juga tak ingin membuatmu semakin merana. Aku tak mau menyakitimu.”

Isakan itu pada akhirnya lolos dari bibir mungil Casey. Bahunya naik-turun tak beraturan, sungai kecil bahkan sudah menganak di pipinya. Casey tak mampu lagi menahan diri agar tak menangis di hadapan Sandeul.

“Maafkan aku. Seharusnya aku menyudahi hubungan kita sejak dulu, sebelum kita benar-benar jatuh terlalu dalam dan tak mampu keluar barang sejengkal pun. Maaf, Cas. Aku memang pengecut. Aku memang tak mampu melakukan apa pun untuk mempertahankan hubungan kita. Aku … aku lebih memilih keluargaku. Maaf.”

Ribuan kata yang hendak terlontar pun tak mampu ia lepaskan. Casey membisu. Bersama udara malam yang semakin menusuk, ia menangisi segala hal yang tampak tak nyata namun tetap harus ia jalani. Akhir dari hubungan yang ia banggakan selama ini sangatlah buruk. Bahkan, ini lebih menakutkan dari mimpi buruk mana pun. Casey tak memiliki keberanian lagi untuk sekadar menatap pemuda yang kini meraih tangannya.

“Kuharap … kau menemukan orang yang lebih baik dariku, Cas. Kau berhak bahagia. Meski tak bersamaku, tapi kau harus bahagia. Bersama seseorang yang benar-benar mencintaimu, yang bisa selalu berada disisimu, yang bisa melimpahkan kasih sayang tanpa beban. Hanya itu. Aku hanya ingin kau bahagia. Dan … lupakan aku. Anggap saja aku hanya seseorang yang pernah singgah di dalam mimpi indahmu. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya bayang semu yang sempat memberikan secuil kebahagiaan dalam hidupmu. Lupakan aku dan bukalah hatimu untuk lelaki lain yang lebih nyata. Kau harus bahagia, Cas. Harus.”

Casey masih tak mampu mencerna keadaan kini. Otaknya serasa kosong. Ia masih menangis tanpa tahu kapan harus berhenti. Ia kini mengeratkan genggaman, meski tangan yang tergenggam mencoba untuk melepaskan.

Mencoba untuk tetap menautkan tangan, kenyataannya Sandeul-lah yang menang. Genggaman pada akhirnya terlepas, menyisakan isak tangis yang semakin kuat. Casey bergeming, bahkan ketika tubuh pemuda itu berbalik dan mulai merajut langkah. Tak ada yang bisa dilakukan sang gadis selain berdiam diri; menangis sejadi-jadinya; meratapi nasib buruknya.

Jujur saja, Casey begitu mencintai Sandeul. Casey selalu memimpikan hal-hal indah yang akan ia lakukan bersama sang pemuda hingga hari tua. Casey hanya ingin keberadaan Sandeul tak pernah musnah. Casey memiliki satu harapan yang tak mungkin terwujud sampai kapan pun. Tetapi Casey, mau tak mau harus menyerah. Menyerah akan takdir yang telah menentukan nasib, menyerah akan cinta yang ia kira akan bertahan selamanya. Tidak. Casey terlalu muda untuk mengetahui seperti apa cinta itu harus ia nikmati. Seperti apa perpisahan yang harus ia hadapi. Seperti apa masa depan yang akan menyambutnya suatu saat nanti. Casey hanya belum tahu bagaimana caranya menghadapi manis-pahitnya kehidupan. Ia masih membutuhkan seseorang yang bisa menuntunnya, dan kini, Casey harus rela kehilangan orang tersebut. Ia harus terbiasa tanpa kehadiran lelakinya. Dan hal yang benar-benar sulit adalah mendapatkan kebahagiaan tanpa adanya Sandeul disisinya, tanpa adanya penerang disetiap langkahnya, tanpa adanya penenang disetiap kegelisahannya.

.

.

“You say, please meet someone good. I guess our love was more shallow than I thought.” —A Lie (B1A4)

-fin-

3 thoughts on “[Ficlet-Mix] A Lie

  1. Btw ya … aku masih syok jinyounh beneran jadi pisah haha kirain bakal baikan, bakal balikan, bakal sama sama lagi eh ternyata engga huhu gapapa sih ya kan niatnya emang sad ending /pfft/

    Yuk kak lanjot yg btob kalo ga mabok hahah nice fic kak!💜

    Like

How does it taste?