[Vignette] C H A N I

ir-req-chani-e1486883861430

C H A N I

.

Surrealism, Romance, Hurt-Comfort || Vignette || Teen

.

Starring
SF9’s Chani & You

.

Tentang cinta yang tak terbalas

.

© 2017 by Gxchoxpie

.

I only own the plot. Art by IRISH @ Poster Channel

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

“CHANI!!!”

Seruan cemperengmu menjalar memasuki runguku. Mendengarnya, otomatis kedua sudut bibirku terangkat. Oh, kau sudah pulang rupanya. Kupertajam pendengaran. Suara sepatu dilempar, dilanjutkan suara gedebuk cukup keras – kuperkirakan adalah suara tas yang kau jatuhkan. Lalu beberapa derap bertempo cepat, dak duk dak duk di anak tangga, dan tahu-tahu pintu cokelat itu terbuka lebar.

Sebuah senyum lebar terukir di bibirmu, memamerkan 32 deretan gigi putih. Oh, aku tak akan melupakan lesung pipit yang melengkapi fitur kurva manismu.

Tanpa ba bi bu be bo kau langsung memberiku sebuah pelukan erat. Dekapanmu hangat

“Chani! Aku amat merindukanmu!”

Aku juga.

“Aku sangat bahagia hari ini! Amat sangat bahagia!”

Arra. Terlihat jelas dari wajahmu.

“Kau mau tahu kenapa?”

Aku duduk dengan manis. Netra yang menatapmu lekat-lekat, siap mendengarkan kisahmu

“Ulangan matematikaku dapat seratus! Bayangkan, Chani-ya, SERATUS! Sudah sangat lama rasanya sejak angka seratus muncul di lembar matematikaku!”

Kedua tangan mungilmu bertepuk dengan girang, melengkapi ekspresi gembira yang jelas-jelas terlukis di wajah. Aku ikut tertawa. Melihatmu senang, aku pun ikut senang. Aku paham betapa sulitnya matematika bagimu yang berotak pas-pasan. Kau sering curhat padaku bahwa matematika amat susah dan menyebalkan. Kau sempat benci matematika, tetapi akhir-akhir ini kau menjadi anak yang rajin. Hampir setiap malam kau mengerjakan minimal empat soal matematika. Dan kurasa nilai seratus ini sepadan dengan kerja kerasmu.

Besar hasratku untuk mendekapmu erat, sebagai ucapan selamat. Membiarkanmu terbenam dalam pelukanku yang hangat.

“Ah, ada lagi yang membuatku gembira hari ini, Chani-ya.”

Oh, rupanya kau belum selesai bercerita. Aku masih memasang tampang penasaran, dengan manik bulat hitam yang memancarkan binar kuriositas. Tak sabar rasanya menanti setiap frasa yang tak lama akan keluar dari bibir tipismu.

“Kak Inseong mentraktirku makan siang!”

Kalimat itu kau ucapkan dengan riang gembira, seraya kedua sudut bibirmu makin tertarik membentuk kurva bahagia. Bahkan netramu yang hampir segaris menggambarkan jelas bahwa kau betul-betul gembira. Lihatlah, kau sekarang sedang duduk dengan tangan menopang dagu, dan kini dwimanikmu menerawang. Kau pasti sedang membayangkan kejadian tadi siang, kan?

“Bayangkan, ketika aku lupa membawa dompet dan aku tak punya uang untuk membayar makan siang, ia tiba-tiba datang, mengeluarkan dompetnya, lalu berkata bahwa ia yang akan membayar makan siangmu.” Matamu kini terarah kepadaku, menatap manikku dalam. “Bukankah ia terdengar seperti pangeran berkuda putih?”

Pangeran berkuda putih apanya, batinku. Aku memaksakan seulas senyum, sejujurnya tak terlalu tertarik menyimak kisahmu kali ini. Namun, aku tak ingin merusak kebahagiaanmu dengan komentar yang bagai menyiram air dingin ke wajah, jadi aku hanya mendengarkan.

Kau masih mendekapku, kali ini lebih erat. Bahkan bunyi degup jantungmu menelusuk sela-sela pendengaranku, membuatku paham benar bagaimana perasaanmu sekarang ini. Kau begitu gembira, bagai berjalan di awan. Ya, kan?

Boleh aku jujur? Sejujurnya aku tak terlalu suka setiap kali mendengarmu menyebutkan nama Kak Inseong. Setiap kali nama itu terucap dari bibirmu, sadarkah kau bahwa ekspresiku selalu muram? Bukannya aku tak mau mendengar ceritamu, tetapi, hanya untuk satu topik itu, aku tidak suka. Itu adalah topik yang agak sensitif untukku. Setiap kali kau mengucapkan namanya, suatu gejolak bergemuruh di hatiku. Rasanya panas, kesal, marah.

Apakah ini rasa cemburu?

Entahlah, aku tak mampu mendeskripsikannya.

Mungkin kaulah yang seharusnya menjelaskan perasaan aneh ini untukku.

***

“CHANI-YA!!!

Lagi-lagi seruanmu menggelegar memenuhi setiap sudut rumah, membuat kesunyian damai yang sedang kunikmati dengan manik terpejam mendadak buyar. Sempat terlonjak, memang, namun aku tak mengeluh. Tidak, sama sekali tidak. Justru aku senang dengan kepulanganmu karena itu berarti aku tak akan sendirian.

DUAK!

Pintu kamarmu yang bercat cokelat terbuka dengan keras, bahkan kenopnya sampai menabrak dinding di sampingnya, menimbulkan bunyi gedebuk yang memekakkan rungu. Kau berdiri di depan ruangan, masih dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhmu. Bahkan kau belum melepas kaus kakimu. Suraimu yang tadi pagi kau keringkan susah payah dengan alat pengering rambut kini sudah menguncup – kuterka basah oleh keringat. Punggungmu membungkuk akibat harus memanggul tas ransel biru yang berat.

Namun senyum yang terukir lebar di wajah lusuhmu seolah mengatakan bahwa dugaanku salah. Kau memang lelah, tetapi kau bukan datang membawa sejuta sungut-sungut. Justru sebaliknya, binar di matamu memberi tahu bahwa kau punya segudang kisah menggembirakan yang siap kau ungkapkan. Memikirkannya saja sudah mampu membuatku menarik kurva bahagia. Tentu kau dapat melihatnya dari lesung pipiku, kan?

Bagai seorang atlit lari, kau mengambil posisi ancang-ancang, lalu berlari dan melompat ke tempat tidur, setelah dua sekon sebelumnya melemparkan tas ranselmu ke sembarang arah. Masih dengan seragam yang beraroma peluh, kau mendekapku erat, lalu berguling-guling di tempat tidur. Hei, hei, hei. Tidakkah kau lupa omelan Ibumu yang menyuruh untuk setidaknya berganti pakaian sebelum berbaring di kasur? Dan sejujurnya, kau aromamu sangat … uhmmenakjubkan, Nona.

Tapi tak masalah. Hangatnya pelukanmu mengambil alih fokusku.

“Chani-ya. Kau tahu apa yang terjadi hari ini?”

Kau mendudukkanku persis berhadapan denganmu. Manik kita saling berpandangan. Aku menatapmu dengan binar penuh kuriositas, tak sabar mendengarkan kata-kata selanjutnya yang akan mengalir keluar dari mulutmu.

“Aku ….”

Ya?

“Hari ini ….”

Hari ini ada apa?

“Kak Inseong ….”

Seketika aku mengernyitkan dahi begitu nama itu kembali terucap. Mengapa dengan lelaki itu? Apa yang terjadi antara dirimu dengannya?

“AKU RESMI MENJADI KEKASIH KAK INSEONG!!!”

Seruan itu kau ucapkan terlalu cepat dan terlalu bersemangat. Butuh beberapa saat bagiku untuk mencernanya perlahan, memahaminya baik-baik. Bahkan setelah sekon-sekon berlalu pun, frasa mengerikan tersebut masih terngiang di telingaku, seolah memaksaku untuk mendengarnya lagi, lagi, dan lagi. Makin lama, aku makin gila rasanya.

KENAPA?

Aku merintih, menjerit, menangis. Namun sangsi kau akan menyadarinya. Buktinya, sampai sekarang, bahkan ketika hatiku sudah terluka pun, kau masih duduk dengan manik menerawang, dan tersenyum. Itu artinya kau tak tahu dan tak peduli dengan apa yang kurasakan, kan?

Kau memang mendekapku, lagi. Seolah mengajakku untuk turut dalam kebahagiaan yang kau rasakan. Namun, maaf. Kali ini aku tak bisa tertawa bersamamu. Hatiku bahkan terlalu hancur untuk sekedar memaksakan seulas senyum. Pilu dan gundah ini terlebih dulu menguasaiku.

“Kau tahu bagaimana ceritanya, Chani-ya?” celotehmu sambil mengelus puncak kepalaku. “Tadi pagi, aku menemukan buket bunga kecil di loker, beserta selembar kertas merah muda yang rupanya adalah surat. Seseorang berinisial I memintaku menemuinya di kebun belakang sekolah saat jam pulang. Siapa yang sangka, rupanya Kak Inseonglah yang mengajakku bertemu, dan di situ ia memintaku menjadi kekasihnya. Bukankah itu hal yang amat manis!”

Aku hanya diam, tak tahu harus membalas apa. Satu-satunya respon yang ingin kuungkapkan adalah menentang habis-habisan ide untuk menjadi pasangannya, dan aku tahu kau tidak akan suka.

“Ia bahkan mengecup pipiku tadi sebelum pulang.”

APA?!

Ia bahkan sudah berani menyentuhmu?!

Cemburu? Tentu saja. Selama ini aku merasa kau sudah cukup dengan memilikiku. Kupikir selama aku ada, siap mendengarkan semua ceritamu, kau tak akan meninggalkanku. Aku sangat bahagia bisa menjadi kepunyaanmu, dan kupikir kau merasakan hal yang sama. Nyatanya tidak.

Kau tahu rasanya?

Seperti dikhianati.

Bahkan kau tertidur dengan tetap memelukku. Senyummu terukir ketika tidur, kutebak kau bermimpi indah. Apakah Kak Inseong-mu muncul di mimpimu? Apa kau bahagia?

Maaf, Tuan Putri. Kali ini, aku tak bisa ikut berbahagia denganmu. Andai saja kau tahu kalau sekarang, di saat yang bersamaan dengan senyummu, aku sedang berjuang menahan tangis, melawan perih yang telah menggerogoti perasaanku.

***

Tak seperti biasa, pintu cokelat itu kali ini terbuka dengan amat pelan, seolah hanya terdorong oleh angin. Padahal pendengaranku yang tajam sempat mendengar suara langkah kaki di anak tangga, yang menandakan bahwa kau telah pulang. Kulihat wajahmu kusut, dengan kepala tertunduk. Langkahmu lunglai bagai tak bertenaga. Tak ada senyum yang biasa menghiasi wajahmu yang cantik.

Melihatmu seperti ini membuatku bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi denganmu selama kita berpisah? Apa dunia di luar itu menakutkan, kejam, sehingga kau pulang layaknya orang yang menanggung beban berat?

Dan perlu kau tahu, dadaku rasanya sesak ketika melihatmu seperti ini.

Kau meletakkan ranselmu dengan pelan di dekat meja belajar. Kemudian, masih dengan seragam bahkan kaus kaki yang melekat, kau melemparkan tubuh ke tempat tidur. Wajahmu sengaja kau telungkupkan pada bantal.

Dan tiga sekon kemudian, kau terisak. Punggungmu bergetar hebat. Suara tangisanmu seolah mengandung pilu dalam yang menyakitkan.

Ada apa?

Tahu-tahu sebelah tanganmu menarikku, kemudian mendekapku erat. Aku ingin balas mendekapmu, namun apa daya, tanganku yang kecil bahkan tak mampu melingkari tubuhmu. Namun, kuharap kehangatan dan kelembutanku dapat menghiburmu.

Kau masih menangis, malah kali ini tambah hebat. Seakan kau bermaksud mengeluarkan rasa sesak yang sudah kau tahan sepanjang hari. Mendengarmu menangis, hatiku terasa perih. Gundah dan gulana berpadu menjadi satu, membuatku tak tahan untuk tak menitikkan air mata.

Nona …. Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku. Ada apa?

“Aku ….”

Ya?

“Kak Inseong ….”

Nama itu lagi?!

“Putus.”

What?!

Aku bahkan tidak tahu apa aku harus merasa senang atau sedih dengan kabar barusan. Sisi egoisku mengatakan sudah seharusnya aku bahagia. Itu artinya makin banyak kesempatanku untuk lebih dekat denganmu. Aku kembali dapat memilikimu seutuhnya. Tak ada lagi cerita tentang pria lain yang membuatku cemburu atau cemas. Dunia ini kembali hanya milik kita berdua.

Namun sisi lainku menyuruh untuk ikut berempati kepadamu. Menghiburmu, menguatkanmu, meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Mengucapkan ikrar padamu bahwa tak peduli dalam situasi apapun, aku akan selalu ada untukmu. Seperti itu.

“Ia berselingkuh, Chani-ya. Rupanya ia mencintai gadis lain selain diriku.”

Pria tak tahu untung!

Seharusnya, ia bersyukur bisa mendapatkan dirimu, dara cantik nan manis, murah senyum, ceria, ramah, lembut, penuh perhatian. Rasanya setiap fitur yang ada pada dirimu sudah pantas untuk memenuhi kriteria kekasih idaman. Aku tak habis pikir, bagaimana ia bisa mengkhianatimu seperti ini?

Perlu kau tahu, aku amat marah sekarang. Perlukah aku datang ke tempatnya dan menghabisinya sekarang juga?

Kurasa tidak. Kau pun tak akan suka dengan tindak kekerasan.

Yang perlu kulakukan sekarang adalah menguatkanmu. Tenanglah, tak semua lelaki sejahat itu. Tidak semua pria itu mengecewakan. Masih ada orang yang mau menerimamu apa adanya.

Seperti aku.

Uhm …

Kalau kau berkenan, bolehkah aku menjadi kekasihmu?

Kita mengenal satu sama lain. Aku berjanji tak akan jauh darimu, apalagi sampai menyakiti hatimu.

Sayangnya, bahkan setelah aku mengutarakan isi hatiku pun, kau tak menjawab apa-apa. Kau hanya berbaring, membiarkan nyawamu melayang ke alam mimpi, dengan kedua tangan masih mendekapku erat. Kau bahkan tak mau membiarkanku pergi. Aku mendesah, menelan sembali kata-kata yang kini sedikit kusesali mengapa sampai kuucapkan.

Baiklah, aku sadar. Aku hanyalah sebuah boneka beruang berbulu putih, yang mungkin tak berarti apa-apa bagimu selain tempat untuk menceritakan segala yang kau pendam sepanjang hari. Aku tidaklah sempurna, bahkan hanya bisa menatapmu, tidak sekali pun meresponi ceritamu, apalagi balas memelukmu.

Tetapi, tidak salah, kan, bila aku memendam rasa terhadapmu?

 

-fin-

How does it taste?