[Vignette-Mix] Untoldable Phrase

Processed with VSCO

UNTOLDABLE PHRASE

.

Romance, Angst, Hurt-comfort || Vignette-Mix || Teen

.

Starring
Pentagon’s Yuto, TWICE’s Momo

.

Inspired by
Illa Illa by Juniel

.

© 2017 by Gxchoxpie

.

I only own the plot

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

(Yuto’s Side)

“Because first love is beautiful, a first love is like a flower.” –Illa Illa (Juniel)

 Yuto tak pernah menyangka sebuket buga yang ia beli akan membawanya pada suatu pengalaman yang tak terlupakan. Berawal dari mencari hadiah untuk sang Ibu dalam rangka Mother’s Day dan kuriositasnya akan toko bunga di ujung jalan. Toko bunga yang sederhana, terlihat sepi, sebuah papan hitam di depan pintu yang hanya bertuliskan Flower dengan kapur tanpa embel-embel lain, tetapi berbagai macam bunga tersedia.

Saat Yuto iseng mengintip ke dalam, maniknya tertumbuh pada sosok seorang gadis yang sedang asyik merangkai bunga. Bagai sebuah berlian, jemari lentiknya menggenggam tangkai demi tangkai perlahan, menyentuh kelopaknya dengan hati-hati, bahkan menatap hasil rangkaian yang ia acungkan dengan mata berbinar. Plum merah itu pun mengukir senyum tipis.

Dan sepertinya ia terlalu asyik dengan kegiatannya merangkai bunga, bahkan sampai tak menyadari denting lonceng di pintu ketika Yuto masuk. Lebih dari itu, Yuto sampai harus mengetuk meja tempat si gadis merangkai bunga untuk membuat ia menyadari presensinya.

Sang gadis terlihat terkejut untuk sesaat, lalu menundukkan wajah. Yuto tersenyum geli melihat tingkah gadis surai cokelat tersebut.

Tak banyak yang Yuto beli, hanya sebuket bunga anyelir merah muda serta sebuah kartu ucapan Selamat Hari Ibu untuk diselipkan. Sang dara membungkus bunga cantik tersebut dengan kertas tisu, lalu mengikatkan sebuah pita ungu pada kumpulan tangkainya. Gerakannya lemah gemulai, penuh kehati-hatian.

Setelah Yuto meletakkan beberapa lembar sepuluh ribu yen di atas meja, gadis itu menyerahkan buket padanya. Satu hal yang membuat senyum geli Yuto kembali tersungging: gadis itu masih meliriknya takut-takut. Ketika Yuto mengucapkan terima kasih, sang gadis hanya mengangguk pelan.

***

Perasaan ini tak dapat dideskripsikan. Entahlah, yang pasti Yuto belum pernah merasakannya sebelumnya. Tanpa bisa ia cegah, bayangan gadis penjaga toko bunga tadi siang masih tergambar jelas di benaknya. Kurva bahagianya saat sedang merangkai bunga, binar ketertarikannya, serta lirikan malu-malu takut yang dilontarkan sang gadis berhasil membuat Yuto kembali menarik kedua sudut bibir. Bagi sang pemuda, dara tersebut tampak imut dan lugu.

Bahkan pesonanya mampu membuat Yuto sengaja terjaga semalaman, hanya untuk sebuah kegiatan: melukis potret wajah sang gadis dalam sebuah kanvas.

***

Esoknya, Yuto kembali mampir. Sengaja ia langkahkan tungkai sepelan mungkin saat mengitari toko bunga yang memang tak seberapa besar tersebut. Dilihatnya setiap bunga yang tersedia, corak yang tergambar pada masing-masing kelopak. Dibacanya karton yang bertuliskan nama dari masing-masing bunga dengan seksama. Disentuhnya kelopak demi kelopak dengan lembut. Bahkan, dibauinya setiap bunga satu demi satu, seraya senyumnya merekah.

Well, jangan tanya apa yang sedang Yuto lakukan di sana, karena ia sendiri pun tak tahu. Satu-satunya alasan Yuto berkunjung ke toko bunga tersebut adalah untuk menemui si gadis. Ia bahkan tak tahu apa yang ia akan perbuat bila mereka sudah berjumpa. Yang pasti, sejak kemarin malam, rasa rindunya telah membuncah, membuatnya uring-uringan tidak jelas. Dan kini, ketika berhasil melihat dara tersebut, perasaan Yuto membaik.

Yuto sadar benar sejak tadi netra sang gadis tak jua beranjak dari padanya. Ya, lagipula hanya Yutolah satu-satunya pengunjung toko siang itu. Beberapa kali Yuto memergok sang gadis yang tengah meliriknya, lalu ketika ketahuan, gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Lagi-lagi Yuto tersenyum geli.

Yuto tak peduli berapa lama waktu yang terbuang hanya dengan melihat-lihat bunga. Ibunya suka berkebun dan punya berbagai macam koleksi tanaman hias, namun rasa ketertarikannya tak pernah sebesar ini sebelumnya. Ia bukan tipe orang yang mudah mengungkapkan perasaan, omong-omong. Tetapi kumpulan bunga bisa dijadikan alasan untuk bertemu gadis surai cokelat tersebut, kan? Toh ia tidak benar-benar sekedar mampir hanya untuk mondar-mandir memanjakan mata. Yuto pulang dengan membawa setangkai bunga mawar, hasil koceknya.

Esoknya, ia datang lagi. Begitu pula esoknya, esoknya, dan esoknya. Kegiatan yang sama: menjelajahi setiap sudut toko, mengamati bunga demi bunga, dan berakhir dengan membeli setangkai mawar. Selain itu, ia pun menikmati lirikan diam-diam yang gadis itu berikan pada setiap presensinya.

Yuto bahkan mengabaikan keheranan sang Ibu akan mawar harian yang diberikan putra tinggalnya. Setiap kali ditanya, Yuto hanya memberi jawaban “bukti cinta pada Ibu” tanpa mau memberi penjelasan lebih lanjut.

Biar saja Ibunya penasaran. Beliau tidak perlu tahu alasan sebenarnya di balik mawar-mawar tersebut.

***

Yuto bukan tipe orang yang percaya akan ungkapan jatuh cinta pada pandangan pertama. Menurutnya, cinta itu butuh proses. Cinta itu tumbuh karena banyaknya interaksi, karena saling mengenal. Mana mungkin hanya dengan sekali tatap perasaan cinta bisa muncul? Yuto tak habis pikir. Kalau perasaan kagum, simpatik, ingin memuji, Yuto masih bisa maklum. Tetapi, cinta? Hah!

Itu pemikirannya dulu. Sampai ia dipertemukan dengan gadis penjaga toko bunga di ujung jalan.

Well, Yuto belum mau mendeklarasikan bahwa apa yang ia rasakan saat ini adalah jatuh cinta. Toh selama ini tak ada interaksi yang terjadi di antara mereka. Frekuensi pertemuan memang banyak, tetapi hanya diisi dengan saling lirik-lirik malu satu sama lain. Diam lawan diam. Apa itu yang layak disebut interaksi?

Lantas, bila bukan jatuh cinta, apa penjelasan dari perasaan rindunya setiap mereka berpisah? Apa alasan dari kunjungan tanpa maksudnya setiap hari jam dua belas siang? Mengapa ia tak mampu mengenyahkan bayangan sang gadis dari otaknya? Dan, bagaimana dengan uring-uringannya?

Pemuda itu menghela napas, seraya kembali menatap selembar tiket pesawat dalam genggaman. Tiket menuju London, Inggris, tempatnya melanjutkan pendidikan. Esok pagi adalah waktu keberangkatannya.

Yuto bimbang. Teringat akan gadis penjaga toko bunga tersebut. Begitu sampai di London kelak, ia tak akan punya kesempatan untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. Rasa menakjubkan yang tak dapat ia definisikan. Yuto tak tahu siapa nama gadis itu, pun kontak yang bisa ia hubungi ketika mereka sudah terpisah ribuan mil.

Karenanya, setelah mempertimbangkan matang-matang dari berbagai aspek, keputusan Yuto pun bulat. Cepat-cepat ia menggulung kanvas lukisan potret wajah sang gadis, lalu memasukkannya dalam tas tabung yang selama ini ia bawa ke ke kampus. Mengabaikan pakaiannya yang belum selesai dimasukkan ke dalam koper, Yuto pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah.

Ia berlari secepat yang ia bisa, tak peduli akan hujan rintik-rintik yang kini mulai membasahi bajunya. Meski dengan penerangan lampu jalan yang remang-remang, bukan masalah bagi Yuto. Meski peluhnya mulai bercucuran, ia tak peduli. Fokusnya hanya satu: toko bunga di ujung jalan. Motivasi itulah yang membuat tungkainya terus berlari dan berlari, melawan dinginnya angin malam yang menusuk kulit.

Hembusan napas lega segera meluncur dari mulut Yuto begitu mendapati lampu di dalam toko tersebut masih menyala. Dengan kata lain, toko masih buka dan bisa dipastikan sang penjaga masih berada di dalam. Yuto tak segera masuk. Terlebih dahulu ia memegangi lutut seraya mengatur napasnya yang terengah-engah.

Perlahan, ia membuka pintu kaca toko tersebut. Dentingan bel kemblai menyambut. Dan seperti biasa, sang gadis tak langsung menyadari presensinya.

Degupan jantung Yuto semakin tak terkendali begitu tungkainya menguntai langkah demi langkah mendekati sang dara. Bibirnya mulai terasa kering dan tenggorokannya bagai tercekat. Ia mulai dilanda kepanikan ketika menyadari bahwa tadi ia terlalu sibuk berlari sampai lupa mempersiapkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Peluh akibat berlari kini bercampur dengan keringat dingin di punggung akibat gugup.

Ehm … permisi ….”

Yuto tanpa sadar menggigit bibir bawah. Hatinya bertalu-talu menunggu respon sang gadis.

Butuh sekitar dua sekon sampai atensi gadis itu teralih dari dua tangkai bunga bugenvil. Gadis itu perlahan mengangkat wajah, dan ketika pandangan mereka bersirobok, Yuto melihat manik gadis itu membola untuk sesaat.

“Aku …. Besok …. Aku akan berangkat besok.”

Yuto meringis, merutuki dirinya akan setiap frasa tidak jelas yang ia ucapkan. Bicara apa ia ini?

“Besok aku akan pergi ke tempat yang jauh.”

Lagi-lagi Yuto memarahi diri. Lantas mengapa kalau ia pergi? Apa urusan gadis itu?

“Sebenarnya ….”

Bagaimana ia harus mengatakannya?

“Aku … aku ….”

Demi sepuluh tangkai mawar yang kini memenuhi vas ibumu, katakan saja, Adachi Yuto!

“Aku sangat menyukaimu. Sudah sejak lama.”

Yuto kembali menggigit bibir. There, he said it. Lalu, sekarang apa?

“Karena itu ….”

Ayo lanjutkan!

“Karena aku akan pergi jauh besok dan entah kapan kembali, jadi ….”

Sedikit lagi!

“Maukah kau … “

Yuto terdiam untuk sesaat. Berani sumpah, ini adalah pertama kalinya ia mengutarakan perasaan pada seorang gadis. Dan mengucapkan kata demi kata itu terasa amat sulit.

“menjadi kekasihku?”

Kelopak matanya terpejam. Baiklah, ia sudah mengatakannya, melawan semua gejolak yang membuat perasaannya tak keruan. Luapan emosi yang menyebabkan degupan jantungnya tak terkendali, rasa sesak di dadanya, serta rasa mual pada perutnya.

Sekarang yang ia hanya perlu lakukan adalah menunggu jawaban dari sang gadis.

Tak kunjung mendapat respon atau sahutan, Yuto pun perlahan membuka kelopak matanya, hanya untuk mendapati sang gadis yang masih terdiam dengan posisi statis. Menatap Yuto dengan pandangan yang sukar pemuda itu artikan.

Yuto menundukkan kepala seraya menjilat bibir bawah. Hatinya mencelos. Ia sadar bahwa kebisuan sang gadis adalah pertanda bahwa cintanya telah ditolak. Perih, memang. Pilu. Dadanya kembali sesak, dan Yuto merasa ia harus cepat-cepat mengalihkan pandangan dari si dara sebelum likuid beningnya mulai menetes.

Yah, sekali lagi, apa yang dapat diharapkan dari hubungan mereka? Ini adalah bukti nyata bahwa prinsip yang ia anut selama ini adalah benar. Cinta tak mungkin timbul tanpa adanya interaksi. Toh selama ini mereka tak pernah sekali pun bercengkrama, apalagi bertukar pikiran. Mungkin ini hanya cinta satu pihak. Cinta? Memangnya ini adalah cinta? Oh, ralat, mungkin ini hanya perasaan satu pihak. Hanya Yuto yang merindukan gadis itu, hanya Yuto yang menyukai gadis itu – frasa suka lebih tepat untuk digunakan, omong-omong. Gadis itu tentu tak ada rasa apa-apa terhadapnya.

Perih, tetapi harus dihadapi. Setidaknya Yuto telah menyampaikan apa yang ia pendam. Ia tak akan pergi ke London dengan membawa sebuah penyesalan akan sesuatu yang tak tersampaikan.

Yuto berbalik, meninggalkan sang gadis yang masih di tempat duduknya. Langkahnya terasa berat ketika menuju pintu keluar toko tersebut. Yuto mengamati sekelilingnya, berusaha menyimpan potongan gambar dari setiap sudut toko dalam memori, agar menjadi kenangannya sebelum pergi ke London.

Sebelum benar-benar pergi meninggalkan toko, Yuto meletakkan tas tabungnya tepat di pintu keluar. Entahlah apa gadis itu akan menemukannya atau tidak, tetapi setidaknya Yuto ingin memberi kenang-kenangan pada sang gadis. Bagaimanapun, Yuto sangat terkesan dengan pertemuan mereka, dan ia yakin seratus persen ia tak akan pernah melupakan dara surai cokelat tersebut.

.

“I think of you, whom I hide away in my memories.”
–Illa Illa (Juniel)

=======000000=======

(Momo’s Side)

“Like a young child, a first love is inexperienced.” –Illa Illa (Juniel)                

Bagi Momo, bunga tak hanya memiliki peran dalam memancarkan keindahannya. Nilai setangkai bunga jauh lebih berarti dari itu. Untuknya pribadi, bunga menyimpan sebuah filosofi hidup. Bunga mengajarkan setiap insan untuk tidak hidup dalam kekhawatiran. Lihatlah bunga liar yang tumbuh, tanpa perlu bersusah payah mencari pakaian, ia cantik dengan sendirinya karena pemeliharaan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau bunga saja Ia pelihara, mengapa manusia yang notabene adalah ciptaan-Nya yang paling mulia masih khawatir tentang kecantikan parasnya?

Selain itu, bunga juga dapat dipakai sebagai penyampai pesan. Seolah setangkai bunga dapat menyampaikan ucapan yang mungkin tak dapat dirangkai dengan kata. Itulah sebabnya orang berbondong-bondong memesan mawar merah saat hari kasih sayang, orang membeli buket bunga untuk diberikan sebagai ucapan selamat, orang membeli bunga ikat saat berkunjung ke makam atau membesuk kenalannya yang sakit.

Kecintaannya terhadap bunga sejak kecil membuat Hirai Momo memutuskan untuk membuka toko bunga. Tidak besar, memang, dan tidak banyak pengunjung, tetapi gadis itu tak peduli. Yang ia harapkan sebenarnya adalah apresiasinya terhadap bunga dapat tersampaikan.

Hari itu sekitar pukul dua belas siang. Momo sedang asyik merangkai beberapa tangkai bunga Gerbera dalam berbagai macam warna. Bukan untuk pesanan, ia hanya merangkainya karena hobi. Untuk apa? Entahlah, mungkin untuk dipajang di rumahnya.

Tahu-tahu seseorang mengetuk meja tempatnya menumpukan siku. Momo mengangkat wajah, dan terkejut. Entah sudah sejak kapan datang, tiba-tiba di hadapannya berdiri seorang pria dengan kemeja kotak-kotak, tersenyum. Di punggungnya terselempang sebuah tas tabung abu-abu yang Momo tahu sering digunakan oleh mahasiswa seni. Momo menundukkan wajah, seraya dalam hati memarahi diri sendiri. Sepertinya ia terlalu asyik dengan bunga Gerbera sampai tak awas akan pintu masuk tokonya, bahkan lupa menyambut tamu.

Pria itu menunjuk ember perak berisi bunga anyelir merah muda. Dari gerakan tangan Momo tahu bahwa pemuda tersebut minta dibuatkan sebuah buket. Momo teringat, ini adalah hari Ibu, dan Momo tahu apa yang pemuda itu maksud. Gadis itu menganggukkan kepala, dan tangannya dengan cekatan tetapi apik mulai memilih tangkai dengan bunga yang bagus.

Ditatanya tangkai-tangkai bunga anyelir dengan rapi di atas selembar kertas tisu berwarna kecoklatan, lalu dengan perlahan ia menggulungnya, membentuk sebuah buket yang cantik. Terakhir, Momo memberi hiasan berupa sebuah pita ungu yang mengikat tangkai-tangkai bunga, di bagian agak ujung. Manis.

Momo menyerahkan buket bunga tersebut pada sang pembeli, bertepatan dengan si pemuda yang kebetulan selesai menulis kartu ucapannya. Momo melirik pemuda itu dengan takut-takut, khawatir apabila ia tak terkesan akan sikap Momo yang tak menyapanya saat datang tadi. Namun sepertinya, pemuda itu tampak tak mempermasalahkannya.

Uang untuk buket sudah diletakkan di atas meja. Pemuda itu mengatakan sesuatu. Momo tidak tahu apa, yang pasti ia hanya memberi anggukan sebagai respon.

Momo menatap punggung pemuda itu lekat-lekat saat sang pemuda berjalan menuju pintu keluar. Dimiringkannya kepala sedikit ke kanan. Entah apa penyebabnya, Momo tak dapat menyembunyikan senyum akibat pria itu. Kurva di bibir sang pria yang sempat tertangkap oleh penglihatan Momo tadi tergambar jelas di benaknya. Senyum itu adalah senyum termanis yang pernah Momo lihat. Dan firasatnya mengatakan bahwa pemuda tadi adalah orang yang ramah.

Untuk sebuah alasan yang tak dapat dijelaskan, Momo berharap suatu hari nanti pemuda itu akan kembali berkunjung ke tokonya.

Keinginannya terkabul. Bahan gadis Hirai itu tak perlu menunggu waktu lama, karena esok harinya pemuda yang sama mampir ke toko kecilnya.

Entah apa yang pria tersebut inginkan, karena sejak kedatangannya lima belas menit yang lalu ia hanya mondar mandir di dalam toko, melihat satu bunga demi satu bunga, mengelusnya, membaca papan nama yang terpajang untuk menamai setiap bunga beserta harganya, bahkan sempat-sempatnya membaui bunga. Ya Tuhan, apakah ia ini lebah yang sedang mencari mana bunga dengan nektar yang lezat?

Namun berhubung tak ada pengunjung lain di toko itu serta tak ada kegiatan lain yang bisa Momo kerjakan, ia pun hanya memandang sang pemuda, mengamati setiap gerak-geriknya.

Oh, jangan tanya berapa kali pemuda itu memergokinya sedang mengamati. Bila ia kepergok, Momo cepat-cepat mengalihkan pandangan, sambil merapikan surai cokelatnya yang tergerai ke belakang punggung lalu mengibaskan tangan. Udara mendadak terasa panas, atau perasaannya saja yang seketika bergejolak. Dan Momo bisa memastikan pipinya sudah tampak seperti kepiting rebus sekarang. Memerah karena malu.

Tapi bagaimana lagi? Momo benar-benar tak bisa mengalihkan pandangannya dari sang pemuda. Meski beberapa kali pandangan mata mereka bersirobok, Momo tak jua menghentikan kegiatannya. Bagi Momo, memerhatikan pemuda itu adalah sebuah aktivitas yang menyenangkan.

Sejujurnya, besar hasrat Momo untuk menghampiri sang pemuda lalu menanyakan apa yang sebenarnya ia cari, karena sejak tadi kegiatan mondar-mandirnya tak kunjung selesai. Momo bahkan siap memberikan bantuan sebesar apapun asalkan Ia tahu apa yang pemuda itu inginkan. Hanya, Momo ragu. Memangnya pemuda itu mengerti bahasa isyarat?

Akhirnya, menahan kuriositasnya, Momo hanya duduk di bangkunya dan menatap sang pemuda dalam diam, meski berjuta pertanyaan berkecamuk di benaknya.

Pencarian si pemuda beres sudah, berakhir dengan setangkai mawar merah. Momo mendesah. Ck. Kalau hanya ini yang dibelinya, maka lima menit setelah kedatangan pun transaksi sudah bisa dilakukan. Mengapa sampai harus mondar-mandir mengelilingi toko bahkan membaui bunga dagangannya satu per satu? Lagipula Momo tidak meletakkan ember tangkai mawar di tempat tersembunyi yang sulit terlihat, asal tahu saja.

Tapi Momo tak dapat menahan rasa senagnnya. Toh bisa dibilang ini adalah jawaban dari doanya semalam, tentang bagaimana ia meminta sang pemuda untuk mengunjungi tokonya kembali. Termasuk menjelajahi setiap sudut toko, adalah bagian dari permintaannya, kan?

Momo membungkus setangkai mawar merah tersebut dengan selembar plastik bening, lalu menempel ujung-ujungnya dengan isolasi. Diserahkannya bunga yang sudah berbungkus tersebut pada sang pemuda. Momo bukan tipe orang yang kuat menatap manik lawan bicara lekat-lekat, karena itu ia hanya melirik diam-diam saja.

Kembali lagi pemuda itu tersenyum seraya meletakkan beberapa lembar yen di atas meja, yang hanya Momo balas dengan kurva tipis. Pria itu pun berjalan menuju pintu keluar toko, meninggalkan Momo yang bahkan belum sempat melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.

***

Tampaknya mengunjungi toko bunga Momo sudah menjadi bagian dari jadwal harian pemuda bertas tabung tersebut. Setiap siang jam dua belas, pemuda itu selalu mampir ke tokonya. Kegiatan yang ia lakukan sama: mengitari toko, melihat bunga yang tersedia, lalu berakhir dengan membeli setangkai mawar. Jujur, gadis surai cokelat itu ingin bertanya apa maksud dari kunjungan harian sang pemuda, mengapa ia selalu menghabiskan waktu di tokonya, dan untuk siapa semua mawar merah itu. Namun lagi-lagi Momo mengurungkan niatnya karena kendala bahasa. Gadis itu tuli-bisu, dan hanya dapat bicara menggunakan bahasa isyarat, sementara ia sangsi pemuda surai hitam itu akan mengerti bahasanya.

Well, tentu saja Momo senang dengan presensi sang pemuda. Siapa, sih, yang tidak senang dikunjungi pria tampan yang ramah setiap hari? Hanya saja Momo penasaran. Bahkan bila ditilik lebih lanjut, besar hasrat Momo untuk berbincang dengan pemuda tersebut. Ada kala di mana Momo menyesali keberadaannya yang tidak sempurna, yang membuatnya tak dapat bersosialisasi dengan mudah. Momo yakin pemuda itu adalah sosok yang asyik bila diajak bercengkrama, tetapi, kekurangannya menghalangi segalanya.

Hal tersebut terkadang membuat Momo pilu.

Kini, setiap menjelang jam dua belas siang, gadis Hirai itu akan menghentikan semua kegiatannya. Ia akan duduk sambil bersandar di kursinya. Tangan terlipat di depan dada dan netra yang terus memandang jam. Hati yang bertalu-talu tak sabar menunggu jarum jam tepat menunjuk pukul dua belas tepat.

Dan ketika kedua jarum jam berhimpit sama-sama menunjuk angka dua belas, pintu tokonya terbuka, dan sosok pemuda yang ia rindukan pun melangkah masuk.

Oh, seseorang tolong ajarkan Hirai Momo untuk mengontrol kurva bahagianya!

***

Ya, Momo menyukai pemuda itu. Meski Momo tak tahu identitas asli sang pemuda, bahkan nama aslinya sekalipun, tetapi hatinya telah jatuh pada pesona pria itu. Momo tak tahu sejak kapan perasaan ini muncul, tetapi yang jelas hampir setiap hari ia selalu merasa rindu akan presensi pemuda itu.

Momo memang tak terlalu berharap banyak cintanya akan dibalas. Toh mereka bisa dibilang tak saling kenal. Ia tak tahu siapa pemuda itu, begitu pula sebaliknya. Kalau pun pemuda itu sudah mempunyai kekasih, Momo tak heran, tak juga akan bersedih. Yah, bisa dipastikan, sih. Terlihat dari bunga mawar harian yang ia beli setiap harinya. Kedatangannya tiap hari ke toko Momo pasti tak lebih dari sekedar mengincar mawar dengan harga murah – meski ia masih penasaran mengapa pemuda itu sering menghabiskan banyak waktu bila hanya untuk sekedar membeli mawar. Kerap Momo tersenyum pahit; gadis yang menjadi kekasih dari pemuda tersebut pasti adalah seseorang yang amat berbahagia.

Tak apa. Begini pun sudah cukup baik. Bisa mendapati presensinya setiap hari di tokonya saja sudah merupakan sebuah anugerah. Momo rela perasaannya tak terbalaskan, bertepuk sebelah tangan. Toh ia bisa apa? Berbicara pun ia tak mampu, apa lagi yang ia harapkan?

Momo lebih suka seperti ini; mencintai sang pemuda dengan diam-diam.

***

Suatu malam, Momo sedang asyik dengan bunga bugenvil kiriman tantenya tadi sore. Bunga bugenvil ungu itu terlihat manis, apalagi bila dibuat satu buket bersamaan dengan beberapa baby’s breath putih. Ia tampak terlalu asyik dengan bunga bugenvilnya sampai lupa bahwa ini sudah waktunya untuk tutup toko.

Momo tidak peduli, sih, sebenarnya. Menambah jam buka beberapa saat toh tidak ada salahnya. Meski sangsi masih ada yang hendak membeli larut malam begini, Momo belum berkeinginan mengakhiri jam buka tokonya. Bagi gadis itu, keindahan bunga bugenvil saat ini lebih penting daripada sekedar menutup toko.

Atensi gadis itu teralih untuk beberapa saat. Dan Momo kembali terkejut ketika mendapati sosok seorang pria di hadapannya, entah kapan ia masuk. Ya Tuhan, ia kembali terlalu asyik dengan bunga hingga mengabaikan pengunjung yang datang.

Manik gadis itu makin membulat ketika tahu bahwa yang berkunjung adalah pemuda yang sama yang biasa mendatangi tokonya setiap siang. Bahkan ia masih menenteng tas tabung tersebut.

Dalam hati Momo bertanya ada apa gerangan sampai pemuda itu datang larut malam begini. Begitu pula dengan peluh yang bercucuran, napas yang agak terengah-engah, serta baju yang terlihat baru saja terkena rintikan hujan menambah kuriositasnya.

Mendapat firasat bahwa pemuda itu akan mengatakan sesuatu, Momo memusatkan atensi pada gerakan bibirnya, mencoba menangkap kata demi kata yang terucap dengan bantuan penglihatan.

Netra Momo menyipit. Gerakan bibir pemuda itu, somehow, tak dapat terbaca olehnya. Susah payah Momo mengartikan maksud dari ranum yang bergerak tersebut.

Momo dapat menangkap aura gugup yang dirasakan oleh sang pemuda, terlihat dari berapa kali ia menggaruk tengkuk atau tersenyum canggung. Raut wajahnya pun menyiratkan kekhawatiran, tetapi tetap saja, gadis Hirai itu tak dapat mengartikan apa yang si pemuda katakan.

Oh, ingin rasanya Momo mengutuk ketidakmampuannya! Frustrasi, mengapa di saat seperti ini, ia diciptakan tidak normal? Mengapa Tuhan tak membuat pendengarannya berfungsi dengan baik sehingga ia dapat mendengar dan berbicara seperti insan lainnya? Mengapa Tuhan membuatnya berbeda? Mengapa hidup terasa keras dan kejam untuknya?

Percuma. Sekeras apapun Momo mencoba berkonsentrasi, tetap saja ia tak dapat menangkap setiap kalimat yang diucapkan pemuda tersebut. Momo merasa bersalah, sekaligus kesal pada dirinya sendiri. Geram karena ia tak dapat mengartikan kata demi kata, merasa bersalah karena Momo tak dapat memberi respon. Ia tampak seperti gadis dungu yang hanya menatap lekat-lekat bibir dari sang pemuda, bila orang lain tak tahu kondisinya.

Tahu-tahu pemuda itu melangkah mundur, dengan wajah yang kini tak menghadap Momo. Meski demikian, raut wajah sedihnya masih tertangkap oleh penglihatan gadis surai cokelat itu. Momo menelan ludah, sadar akan kesalahan serta ketidakmampuannya. Momo ingin mencoba mengerti, tetapi ia tidak dapat.

Sebersit pilu muncul di hati Momo ketika pemuda itu membalikkan badan dan beranjak meninggalkannya. Momo ingin menghentikan pergerakannya, tetapi kakinya seolah menolak untuk digerakkan. Ia bagai terpaku di kursi dengan otak yang masih mencoba mencerna pergerakan bibir pria tersebut, mencoba merangkai kata demi kata yang berhasil ia tangkap.

Mungkinkah … mungkinkah ia menyukaiku?

Meski itu adalah kemungkinan yang tak masuk akal, tetapi berhasil membuat Momo membelalakkan netra ketika menyadarinya. Kemungkinan itu memang kecil, tetapi eksistensinya tak dapat diabaikan. Apalagi ketika dilihat dari gestur pemuda tersebut saat berkata-kata tadi, Momo mengartikannya sebagai seorang pria yang sedang mengutarakan perasaan.

Momo terkejut, tak menyangka, sekaligus membiarkan asa tumbuh pada hatinya. Dengan raut wajah penuh harap ia beranjak dari tempat duduknya, berusaha mengejar sang pemuda bahkan sampai keluar dari tokonya. Namun, di sepanjang jalan, yang ia temui hanyalah kekosongan serta udara malam yang dingin. Sepi.

Di tengah keputusasaan itulah Momo menemukan sebuah benda familiar di depan pintu masuk tokonya. Tas tabung hitam yang selama ini terselempang pada punggung pemuda tersebut. Setelah menyelipkan helaian anak rambut di belakang telinganya, tangan Momo membuka penutup tabung tersebut, dan mengeluarkan gulungan kanvas di dalamnya.

Terkejutlah ia ketika membuka gulungan tersebut dan menemukan bahwa itu adalah lukisan potret dirinya. Penuh warna-warna cerah. Gadis dalam gambar tersenyum begitu manis. Sangat cantik.

Sebelah tangan Momo terangkat untuk menutup mulutnya. Ia tak dapat menahan rasa terharu yang kini menyeruak dalam batinnya. Tak mampu ia cegah likuid bening untuk tidak turun menuruni pipinya. Apalagi ketika menemukan sebuah frasa sakral yang ada di pojok kanvas. Terlihat tipis, tetapi jelas. Isakannya makin menjadi-jadi.

Aishiteru.

***

Hari itu,

aku menyadari perasaanmu terhadapku.

Maafkan aku,

tak dapat membalas setiap perkataanmu.

Sampai sekarang,

ada satu hal yang belum dapat kukatakan padamu.

“Aku. Juga. Mencintaimu.”

.

“Seeing as a first love is painful, a first love is like a fever. Because you can’t have it since you loved too much.” –Illa Illa (Juniel)

 

-fin-

2 thoughts on “[Vignette-Mix] Untoldable Phrase

  1. Geceee tanggung jawab ah ini bikin baper akutt padahal habis ini harus blajar buat usbn:”””””)))))

    Ide ceritanya so sad bikin gemes sndiri tapi tetep aja kerenn!❤

    Kip writing ceee❤❤❤

    Like

How does it taste?