[Vignette] About The Chocolate

1489156290487

ABOUT THE CHOCOLATE

.

Slice-of-life, Family, Comedy || Vignette || General

.

Starring
NCT’s Jisung, OC’s Park Jiae
(slight!) SMRookies Girls’ Lami

.

“Andwae! Jangan mencoba untuk jail lagi, Kak!”

.

© 2017 by Gxchoxpie

.

I only own the plot and the OC. Big thanks to thehunlulu for the amazing poster

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

Ada sesuatu janggal yang Jiae rasakan begitu menyadari bahwa rumahnya terasa sangat hening. Ia tahu betul ia tidak sendirian di rumah, masih ada Jisung yang 45 menit yang lalu ia temui di kamar sedang asik dengan PSP-nya. Namun begitu mendapati bahwa rumahnya kini sunyi bagai tak ada makhluk lain membuat Jiae sedikit bingung. Gadis itu agak tidak biasa dengan suasana hening nan sunyi, oleh sebab itu ia mencoba mencari di mana sang adik berada.

Eksplorasinya terhenti begitu ia tiba di dapur. Dilihatnya sang adik lelaki sedang sibuk berkutat di dekat kompor. Jiae berdiri dengan punggung bersandar pada dinding. Tangan dilipat di depan dada. Dwimaniknya menyipit agar dapat melihat lebih jelas apa yang Jisung sedang lakukan. Tampak Jisung sedang mengaduk sesuatu dalam panci kecil menggunakan sendok makan. Sesekali terdengar suara sendok logam beradu dengan dinding panci. Panci itu sendiri diletakkan di atas api kompor yang membara.

Oii, Jisung-ah,” panggil Jiae.

Gadis Park itu tak menyangka panggilannya dapat menyebabkan serangan jantung kecil mendadak bagi Jisung, karena begitu pemuda kecil Park itu berbalik, seketika sendoknya lepas dari genggaman dan menghantam lantai, menimbulkan suara kelentang yang cukup keras. Sekon berikutnya, Jisung memegangi dada sambil memejamkan mata, lalu mengeluarkan suara helaan napas yang cukup keras.

“Kak Jiae! Mengagetkan saja!” balasnya. “Sejak kapan Kak Jiae berada di situ?”

Uhm … satu menit yang lalu?” tutur Jiae. “Belum lama, kok.”

Jisung tidak membalas. Ia memungut kembali sendoknya, lalu kembali asyik ke kegiatan awalnya: mengaduk sesuatu dalam panci. Namun tak butuh waktu lama, ia berbalik, dan memberi sebuah tatapan curiga pada kakak perempuannya.

“Kak Jiae ngapain berdiri di situ?” tanyanya.

“Lho, memangnya tidak boleh?”

Jisung menyipit. Kenal betul karakter kakaknya, Jiae tidak mungkin akan berdiri begitu saja tanpa bermaksud apapun. Pasti di dalam otak kecilnya itu sebuah plot mengenai rencana keisengan berikutnya sudah tercipta.

Andwae! Jangan mencoba untuk jail lagi, Kak!” celetuk Jisung akhirnya, terus terang. Jujur saja, ia sudah lelah menjadi korban kejailan dari gadis yang terpaut tiga tahun umurnya tersebut. “Ayolah, Kak. Aku membuat cokelat ini bukan untukku. Aku akan memberikannya pada orang lain. Jangan jadikan ini sebagai bahan kejailan berikutnya.”

Mendengar permintaan adiknya yang diucapkan dengan nada memelas dan ekspresi wajah memohon membuat Jiae tak dapat menahan geli. Tawanya pecah bahkan ia harus memegangi perut karena menahan sakit akibat tertawa terlalu keras.

Ya! Tidak baik berprasangka buruk pada Kakakmu, Jisung-ah,” sahut Jiae diiringi dengan sisa-sisa tawa yang hampir mereda. “Omong-omong, kamu sedang masak cokelat, toh? Kok tidak ajak Kak Jiae? Kakak tadi sempat bingung kenapa tiba-tiba rumah terasa hening, lalu ternyata kau ada di sini.”

“Sengaja,” jawab Jisung tanpa mengalihkan atensi dari cokelat dalam panci. Ia mematikan kompor, lalu dengan bantuan sarung tangan dapur ia memindahkan panci ke meja dapur, setelah sebelumnya menaruh sebuah kain untuk dijadikan alas panci. “Supaya Kak Jiae nggak ganggu aku,” tambahnya.

Ck.” Jiae tersenyum geli. “Memangnya kamu mau buat cokelat itu untuk siapa?”

Dengan hati-hati Jisung menuangkan lelehan cokelat ke dalam cetakan kecil berbentuk hati yang rupanya telah ia siapkan di atas meja dapur. “Untuk seseorang.”

“Kak Jiae nggak diberi?”

“Kalau Kak Jiae nggak iseng, nanti aku beri satu potong.”

Dwasseo,” sahut Jiae akhirnya. “Aku juga bisa membeli sendiri di minimarket, atau membujuk Haechan agar mau membelikan untukku.”

Jisung tidak menjawab. Ia terlihat serius menuang cokelat ke satu cetakan demi satu cetakan. Tak hanya itu, dengan kehati-hatian yang sama ia meletakkan crushed almond ke dalam cokelatnya. Begitu selesai, kurva bahagia Jisung terukir. Ia tampak bangga dengan hasil pekerjaannya.

Masih tanpa percakapan yang terjalin antara dirinya dengan sang kakak, Jisung pun tak lupa memasukkan cokelat di cetakan ke dalam freezer kulkas. Hanya perlu menunggu esok pagi tiba hingga cokelat itu mengeras. Setelahnya, Jisung melengos begitu saja dari dapur, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Jiae yang setia menemaninya.

Merasa situasi sudah aman dan Jisung sudah pergi, Jiae pun membuka pintu kulkas. Cetakan cokelat yang diletakkan persis di sebelah kotak es batu menarik perhatiannya. Pelan-pelan, dikeluarkannya cetakan berbahan plastik tersebut dari freezer dan diletakkannya kembali di atas meja dapur.

Insting kejailannya tumbuh. Meski sempat teringat akan ekspresi memelas sang adik saat memohon padanya agar tidak menjadikan cokelat sebagai korban keisengan berikutnya, namun, apa daya. Rasanya tangan Jiae sudah gatal ingin melakukan sesuatu pada cokelat-cokelat buatan adiknya. Bukan Park Jiae namanya kalau bisa meninggalkan segala sesuatu dengan normal dan baik-baik saja. Setidaknya, ia harus melakukan ekspresimen terhadap benda tersebut.

Dan mungkin cokelat ini akan menjadi korban berikutnya.

Jiae mengambil garam yang ada di salah satu kabinet dapur, lalu pelan-pelan ia menaburkan masing-masing sejumput ke dalam setiap cetakan cokelat. Sesekali ia terkikik, walau sebisa mungkin ia melakukannya tanpa suara. Sesekali juga ia mengangkat kepala, memastikan bahwa Jisung tidak memergoki tindakannya.

Setelah merasa cukup, Jiae pun mengembalikan cetakan cokelat ke dalam freezer. Ditatanya sedemikian rupa sehingga terlihat persis seperti saat Jisung memasukkannya. Terakhir, ditutupnya pintu kulkas seraya senyum puasnya terukir lebar. Jiae tidak sabar menunggu reaksi Jisung esok hari.

***

“Lami-ya ….”

Gadis cantik berbando ungu bernama Lami itu menoleh begitu mendengar panggilan Jisung. Plum merahnya mengukir sebuah kurva manis, seraya pria Park teman sekelasnya itu berjalan menghampiri mejanya.

“Untukmu.”

Tahu-tahu, sebuah kotak bening berisi beberapa cokelat berbentuk hati diletakkan di atas meja Lami. Pita merah muda yang melilit kotak bening tersebut menambah manis penampilannya.

Netra Lami membulat. Ia pun menatap Jisung dengan tatapan bahagia, bercampur bingung.

“Wow! Dalam rangka apa?” tanyanya.

Jisung menggaruk tengkuknya sejenak yang sebenarnya tak terasa gatal. “Uhm … hanya iseng saja.”

Well, sebenarnya, sih, ia ingin memberi sesuatu untuk gadis yang ia sukai.

Lami tersenyum. “Terima kasih, ya. Boleh aku makan sekarang cokelatnya?”

“Ah, tentu saja!” jawab Jisung. “Aku belum mencoba, sih, rasanya seperti apa. Dan ini pertama kali aku membuat cokelat. Jadi, kalau rasanya kurang enak, harap maklum, ya.”

“Tak apa,” Lami berujar sambil perlahan membuka lilitan pita, “yang terpenting adalah ketulusan hatimu saat memberi.”

Tak bisa Jisung pungkiri jantungnya berdegup dengan cepat dan keringat dingin mengucur di punggungnya saat Lami mulai mengambil satu cokelat dari kotak. Ia tampak gugup. Yah, ia tahu Lami tidak akan menghinanya habis-habisan atau memuntahkan cokelatnya begitu saja kalau pun kudapan buatannya ini tidak enak. Namun, tetap saja, menunggu penilaian dari Lami hampir sama dengan mendengar penilaian dari seorang koki handal di acara lomba masak.

“Bagaimana, Lami-ya?” Jisung tak sabar mendengar komentar Lami.

Gadis itu mengunyah cokelatnya untuk beberapa saat, dan ketika beberapa kerutan di kening sang gadis tercipta, perasaan tidak enak mulai menguasai Jisung.

Sepertinya cokelatnya tidak seenak yang diharapkan.

Oh, bahkan tampaknya lebih mengerikan dari yang Jisung kira. Karena dua sekon kemudian Lami terlihat heboh mencari botol air minum, lalu akhirnya menegak air putih dengan cepat dan sepertinya ia butuh bantuan air mineral untuk dapat menelan cokelat yang ia kunyah.

Jisung hanya dapat menggigit bibir. Niatnya untuk memberi hadiah manis terhadap gadis yang ia taksir buyar sudah.

“Cokelatmu asin!” tutur Lami sambil menutup botol minumannya.

Dwimanik Jisung membola. “EH? Asin?”

Lami mengangguk cepat.

“Kok bisa?”

Jisung merasa heran. Kalau Lami bilang cokelatnya terlalu pahit, kurang manis, atau mungkin malah terlalu manis, atau giung, semuanya masih masuk akal. Tetapi, asin? Jisung, kan, tidak memasukkan garam ke dalam cokelatnya.

Bahkan ia meminta izin kepada Lami untuk mencoba cokelatnya satu. Benar saja, seketika rasa asin yang hebat menghantam lidahnya, membuat mau tak mau Jisung harus meminta beberapa teguk dari air minum Lami agar dapat menelan cokelat aneh tersebut.

Tiba-tiba, bayangan seseorang muncul di benaknya.

Jisung mendengus. Penyebab dari segala kekacauan ini hanya satu. Tak lain dan tak bukan adalah Park Jiae, kakak perempuannya. Jisung sebenarnya sudah curiga dengan keberadaan Jiae kemarin di dapur, yang hanya diam dengan tangan terlipat mengamatinya memasak. Omong kosong tentang janji, pada akhirnya sifat jail kakaknya itu tidak dapat dihilangkan.

Oh, seseorang tolong ingatkan Jisung untuk membalas tindakan sang kakak sesampainya ia di rumah!

 

-fin-

How does it taste?