[Oneshot] EXIST

exist

EXIST

.

School-life, Thriller, Supernatural || Oneshot|| PG-17

.

Starring
Wanna-One’s Kang Daniel,
OC’s Daphline

.

“Jangan pergi! Aku tak dapat hidup tanpa cintamu!”

.

© 2017 by Gxchoxpie

.

I only own the plot. Credit poster to Sfxo @PosterChanel

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

Ia menarikku ke dalam pelukannya. Aku tersenyum. Tubuhku yang mungil serasa tenggelam dalam dekapan eratnya. Kemudian –

Ya! Daphline-ah!”

Gadis surai pony-tail dengan tag nama Daphline Ong itu buru-buru menutup notes-nya begitu seruan sang kawan memasuki rungunya. Ia menoleh, lalu mendapati bukan hanya satu, tetapi tiga gadis yang adalah rekan-rekan sekelasnya berjalan menghampiri dirinya. Tepat ketika mereka sampai dan memosisikan tempat duduk di sisi Daphline, gadis itu mendekap notes sampul tosca-nya di dada.

“Sendirian saja?”

Daphline hanya mengangguk.

Salah satu dari mereka yakni yang mengenakan sepatu hijau tua menaruh atensi pada notes dalam dekapan Daphline. “Apa itu?” tanyanya sambil berusaha menarik benda tersebut.

Daphline agak terkejut, kemudian mendekap notes-nya semakin erat. “Ah, bukan apa-apa,” sahutnya.

Eyy …. Kau mulai main rahasia-rahasiaan, ya, sekarang. Tidak seru.”

“Ayolah,” timpal gadis berkacamata. “Kau, ‘kan, teman dekat kami.”

Meski beberapa kali dibujuk, Daphline tetap tak mau menyerahkan atau menunjukkan notes tersebut pada kawan-kawannya, bahkan ketika mereka bertiga telah menunjukkan ekspresi kecewa sekalipun. Sadar bahwa Daphline tak akan mengubah keputusan, salah satu dari mereka memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.

“Omong-omong, Daphline-ah, apa kabar dengan kekasihmu? Siapa namanya kemarin? Kang Daniel?”

“Oh, ya! Kau berjanji untuk menunjukkannya pada kami lewat video call, ‘kan?”

Perkataan teman-temannya membuat Daphline menggigit bibir serta tersenyum kecut.

“Ayo, cepat lakukan! Nanti keburu waktu istirahat berakhir!”

Meski Daphline telah memberi bahasa tubuh tidak nyaman, tetapi sepertinya ketiga kawannya tak menyadarinya. Daphline pun berujar, “Ehm, nanti sajalah. Perbedaan waktu di sini dan di sana sangat jauh.”

“Ah, itu selalu menjadi alasanmu!” celetuk si gadis sepatu hijau. “Memangnya di London sekarang jam berapa? Sekarang pukul sepuluh waktu Korea, berarti di London pukul …? Sebentar, perbedaan waktu Seoul dan London itu berapa jam?”

“London?” balas gadis berkacamata. Kemudian tatapan ia arahkan pada Daphline. “Pacarmu tinggal di London? Bukankah waktu itu kau bilang padaku dia sedang berada di New York?”

Jantung Daphline bagai berhenti berdetak untuk sesaat. Dengan gugup ia menelan ludah, tak siap dengan situasi yang tiba-tiba menghadangnya.

Tak kuat, gadis Ong itu buru-buru berdiri. Dengan alasan harus kembali ke kelas secepatnya ia pergi meninggalkan ketiga temannya yang kini sedang dilanda kebingungan.

Tanpa gadis itu sadari, sepasang mata telah memerhatikan gerak-geriknya sejak tadi.

***

“Daphline Ong! Kau dipanggil oleh Ahn seonsaengnim.”

“Ahn seonsaengnim? Guru bimbingan konseling itu?” Daphline menyahut panggilan dari sang ketua kelas seraya menutup notes tosca-nya. “Kenapa?”

Jonghyun, si ketua kelas, hanya mengangkat bahu. “Entahlah. Aku baru saja kembali dari kamar kecil dan ketika melewati ruang BK, beliau memberi pesan seperti itu.”

“Baiklah,” Daphline mengangguk. “Aku akan segera ke sana.”

Sambil melangkah keluar kelas, didekapnya erat notes tosca yang amat ia sayangi tersebut. Daphline takut kalau ia meninggalkannya di kelas, meskipun sudah disimpan di dalam tas, seseorang akan mencoba mengambilnya lalu membacanya.

“Permisi.”

Daphline mengetuk pintu ruang bimbingan konseling tiga kali sebelum masuk. Senyum ramah sang guru menyambutnya, kemudian dengan isyarat menyuruhnya untuk duduk, berhadapan dengan beliau.

“Tidak sedang ulangan, ‘kan?” tanya sang guru memastikan.

Daphline menggeleng.

Well, hanya sekedar wawancara singkat mengenai minat dan kehidupanmu. Tak keberatan?”

Lagi-lagi gadis Ong itu menggeleng.

“Kau suka menulis?”

Netra Daphline membulat sesaat mendengar pertanyaan sang guru yang dilontarkan dengan tiba-tiba dan tebakannya begitu pas. Senyum gadis itu terukir seraya ia mengangguk bersemangat.

“Itu adalah buku kesayanganmu, ‘kan? Tempatmu menulis selama ini?” Ahn seonsaengnim melirik notes dalam dekapan Daphline. “Itu sebabnya kau selalu membawanya kemana-mana dan tak mau menunjukkannya pada orang lain?”

Daphline terpana akan ketepatan sang guru dalam menerka. Sama sekali tak ada yang meleset.

“Isi buku itu … hmm … fiksi. Tetapi jalan ceritanya kau padu-padankan dengan pengalaman keseharianmu plus angan-anganmu. Benar?”

Lagi-lagi Daphline terkejut. “Darimana Ibu – “

So obvious,” potong sang guru dengan sebelah sudut bibir terangkat.

“Omong-omong, Daphline-ah, kau sudah punya pacar?”

Daphline sama sekali tak menaruh rasa curiga akan pergantian topik yang tiba-tiba tersebut. Ia hanya menjawab apa yang harus ia jawab, dan ia memberikan gelengan kepala sebagai respons.

“Kau ingin punya pacar?”

Well, meski terkesan agak memalukan, tetapi ia rasa ia harus jujur. Karena itu ia mengangguk meski pelan.

“Pernah membayangkan bagaimana rasanya punya pacar? Pernah berkhayal bahwa kau punya pacar imajinasi?”

Dara Ong itu semakin terkejut dan kagum atas tebakan-tebakan sang guru mengenai dirinya yang hampir benar, seakan guru itu bisa membaca pikirannya hanya dengan menatap. Sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan guru bimbingan konseling tersebut, Daphline mengangguk.

“Kau belum punya pacar dan kau ingin punya pacar. Kau sering berkhayal bagaimana rasanya jika memiliki seorang kekasih, bahkan khayalanmu membuat kau seakan telah benar-benar berkencan dengan kekasih delusimu itu. Hasil imajinasimu kau tuangkan dalam notes tersebut.”

Daphline yakin Ahn seonsaengnim yang kini duduk di hadapannya tak pernah sekalipun mengambil notes-nya tanpa sepengetahuan lalu membaca isi tulisannya. Tidak, seorang guru tak akan mungkin melakukan tindakan seperti itu. Itulah sebabnya Daphline heran akan sang guru yang bisa menerka isi notesnya  dengan tepat.

“Bagaimana ibu bisa – “

So obvious, dear.” Lagi-lagi jawaban guru tersebut memotong pertanyaan Daphline.

“Daphline-ah. Pernahkah kau membayangkan semua tulisanmu menjadi nyata?”

“Maksud Ibu?”

“Ya, membayangkan seandainya apa yang kau tulis itu benar-benar terjadi di dunia nyata. Pernahkah?”

Daphline tersenyum kecil. “Pernah,” lirihnya.

“Kau mau?”

“Apakah bisa?” Daphline balas bertanya.

Sang guru menyunggingkan senyum yang tak dapat Daphline terka maknanya.

“Lupakan,” tukas Guru Bimbingan Konseling tersebut sambil mengibaskan tangan, mengabaikan tatapan penasaran Daphline yang kini diganti raut bingung. Beliau pun menyambung, “Anyway, aku punya hadiah untukmu.”

Ne?” Dwimanik Daphline berbinar. “Dalam rangka ….?”

“Kudengar kau menjadi juara lomba menulis cerita pendek se-kota Seoul minggu lalu. Juara tiga untuk seorang pemula adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Lagipula, kau telah mewakili dan mengharumkan nama sekolah ini. Kau patut diberi apresiasi.”

Guru Ahn meletakkan sebuah notes tebal bersampul cokelat ala vintage di atas meja. Daphline meraihnya.

Well, itu bukan hadiah utamanya,” lanjut Guru Ahn.

Daphline mendongak. “Lantas?”

“Kau akan tahu nanti,” sahut sang guru. “Tetapi yang pasti, mulai sekarang mulailah menulis di notes ini. Segala anganmu, segala harapanmu, segala imajinasimu, segala keinginanmu, tuangkan dalam buku ini layaknya buku harian. Siapa tahu semua tulisanmu itu akan menjadi kenyataan?”

Plum merah Daphline seketika mengukir senyum cerah. “Boleh saya mulai menulis sekarang?”

“Tentu saja.”

Dengan penuh semangat gadis Ong itu mengambil bolpoin merah jambu kesayangannya dari dalam saku jas, membuka halaman kosong pertama notes tersebut, dan segera menorehkan tinta.

Aku ingin punya pacar. Namanya Kang Daniel. Dia tampan, manis, ramah, murah senyum, perhatian. Lebih tinggi daripadaku, rambutnya berwarna pink. Dia berasal dari New York, tetapi pandai dalam bahasa korea.

Ketika Daphline selesai menulis dan bermaksud meninggalkan ruangan sambil membawa notes baru tersebut, suara guru Ahn mencegah langkahnya.

“Aku belum mengizinkanmu membawa notes itu pulang,” ujar beliau.

Daphline mengernyitkan kening. “Tetapi, Ibu bilang ini hadiahku.”

“Benar. Tetapi bukan hadiah utamanya. Saat hadiah utama itu datang barulah kau boleh kembali padaku untuk mengambil kembali notes ini. Sampai saat itu tiba, menulislah di notes-mu seperti biasa.”

Daphline mengangguk paham. Setelah membungkukkan badan untuk meminta izin pamit, ia kembali ke kelasnya.

***

Sementara guru sejarah sibuk berceloteh di depan kelas, berkisah tentang era penjajahan Jepang dengan semangat menggebu-gebu, Daphline malah asyik sendiri dengan dunianya. Pulpen merah jambu dengan hiasan bulu di atasnya ia selipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah, kemudian diputar. Pandangannya menatap nanar pemandangan di luar yang bisa ia lihat dari jendela, sementara otaknya sedang berpikir keras merangkai kata-kata serta mencari ilham untuk melanjutkan fiksi dalam notes kesayangannya.

Baru saja Daphline hendak kembali menorehkan tinta, suara ketukan di pintu kelas mengalihkan atensi. Bukan hanya atensinya, tetapi atensi seluruh penghuni kelas.

Rupanya kepala sekolah mampir, beserta seorang anak lelaki rambut pink cotton candy yang tak dikenal. Keduanya melangkah masuk ke ruang kelas.

“Anak-anak, saya minta perhatian kalian semua,” ujar sang Bapak Kepala Sekolah. “Kita kedatangan murid baru, berasal dari New York, yang akan bergabung dengan kelas kalian. Ayo, perkenalkan dirimu.”

Anak lelaki itu bagai menyapu seluruh isi kelas dengan pandangannya sebelum membungkukkan badan sembilan puluh derajat. “Annyeonghaseyo. Nama saya Kang Daniel. Selama ini saya tinggal di New York. Senang bergabung dengan kalian dan mohon bantuannya.”

Kang Daniel? New York?

Daphline menelan ludah, seraya otaknya berusaha mencerna situasi yang sedang terjadi. Melalui ekor mata ia dapat menangkap bayangan teman-teman dekatnya yang kini tengah menatapnya.

Tanpa ia sangka, dwimaniknya bersirobok dengan pemuda rambut pink itu. Senyum Kang Daniel terlihat makin merekah, dan hal berikutnya yang Daphline sadari adalah ia menahan napas ketika lelaki itu berjalan ke arahnya.

Menghampiri mejanya.

Dan berhenti, lalu berlutut persis di hadapannya.

“Daphline-ah,” ujar lelaki itu lembut dengan jemari yang kini meraih telapak tangan Daphline. Bahkan belum cukup, ia meninggalkan sebuah kecupan manis pada punggung tangan gadis itu.

“Kau menunggu lama, ‘kan? Sekarang kita tak akan terpisahkan lagi. Aku akan selalu bersamamu.”

Daphline mengerjap. Kaget. Otaknya mendadak tak bisa diajak berpikir.

Pertama, darimana pemuda ini tahu namanya? Kedua, mereka baru saja bertemu dan ia sudah berani bertingkah laku seperti ini?

Daphline bukan gadis yang gemar menjadi pusat perhatian, oleh karena itu tatapan yang dilontarkan setiap pasang mata teman-temannya membuat ia tidak nyaman. Tetapi, tampaknya tak ada tanda-tanda bahwa anak baru itu akan menghentikan tindakannya.

Pemuda bernama Daniel itu berdiri, dan berbalik untuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Sebelah tangannya digunakan untuk merangkul Daphline erat.

“Salam kenal, teman-teman. Aku Kang Daniel, kekasih dari Daphline.”

Mendadak jantung Daphline bagai berhenti berdetak.

***

Seharian itu, Daniel memperlakukan Daphline layaknya kekasih idaman. Mereka berdua bagai amplop dan perangko; lekat satu sama lain. Ke mana pun mereka pergi, mereka bagai tak terpisahkan. Bukan hanya itu, perilaku Daniel benar-benar tampak seperti mengistimewakan Daphline. Mengambilkan makan siangnya, mengusap ujung bibir gadis itu yang terkena saus dengan tisu, bahkan menunggu dengan sabar di luar toilet ketika Daphline sedang buang air kecil. Daniel memang anak baru, tetapi ia tak malu memproklamasikan statusnya sebagai kekasih Daphline di depan banyak orang.

Berkat Daniel, beberapa gadis meminta maaf pada Daphline karena selama ini telah diam-diam menuduh gadis itu sebagai seorang pembual.

Awalnya Daphline bingung bagaimana harus merespons situasi dadakan ini, tetapi lama-lama ia mulai terbiasa dan sudah bisa menyesuaikan diri.

Pulang sekolah, Daphline meminta izin pada Daniel untuk pergi sebentar, dan meminta kekasihnya itu untuk menunggu di ujung tangga. Daphline sendiri pergi ke ruang bimbingan konseling.

“Wow, bagaimana ini bisa terjadi?” adalah pertanyaan pertama Daphline begitu ia duduk di hadapan guru Ahn.

Sang guru mengangkat sebelah sudut bibir. “Sudah terima hadiah utamaku?”

“Ini diluar dugaanku, ssaem!”

“Mengapa, kau tidak suka?”

Daphline menggeleng kuat-kuat. “Justru saya sangat suka! Saya tak menyangka bahwa apa yang saya tulis benar-benar menjadi kenyataan!”

“Kau ingin memiliki notes itu?”

Gadis Ong itu mengangguk cepat.

Guru Ahn meletakkan notes sampul vintage tersebut di atas meja beserta selembar kertas. “Namun, aku tak dapat memberikannya secara cuma-cuma. Ada sebuah hal yang harus kau sepakati. Baca dahulu kontrak itu baik-baik.”

Daphline meraih lembaran kertas tersebut dan membacanya dengan tergesa-gesa. Ia terlihat tak peduli akan apa yang tertulis di dalamnya, karena bagaimana pun keputusannya telah bulat; ia harus memiliki notes tersebut.

“Ya, saya menyetujuinya!”

“Kau yakin?”

Gadis itu mengangguk.

SRET!

“Ah!”

Telunjuk kanan Daphline tahu-tahu terluka seperti tersayat. Setetes darah menetes tepat ke atas kertas bagian kolom tanda tangan. Seketika nama lengkapnya terpampang di kolom tersebut.

“Baiklah, kau boleh memiliki notes ini,” pungkas Guru Ahn.

***

Sambil menguntai langkah dengan notes barunya dalam dekapan, Daphline teringat akan perkataan Ahn seonsaengnim. Dengan buku ini, semua perkataannya akan dipercayai oleh teman-temannya. Apapun yang ia tulis akan menjadi kenyataan. Karena itu ia harus berhati-hati akan apa yang ia tulis.

Daphline menghela napas. Well, ia pasti bisa melaksanakannya.

Sesuai apa yang ia tulis di halaman pertama, Daniel memanglah pria yang benar-benar memiliki manner baik. Perhatiannya tak terkira, khususnya kepada Daphline. Dan memang hanya ditujukan untuk Daphline. Daniel yang tampan dengan eye smile menawan, perbandingan tinggi yang pas dengan Daphline, keramahannya, kelembutannya, semua yang ada pada Daniel pasti membuat orang lain iri. Pasangan ini mendadak menjadi pasangan terfavorit satu sekolah. Semua orang iri melihat interaksi keduanya.

Daphline paham benar akan tugasnya. Hampir setiap hari ia menulis di notes tersebut layaknya buku harian. Menurut pengamatannya, Daniel hanya akan berkelakuan seperti yang ia tuliskan dalam notes.

***

Suatu hari, saat sedang berada di kamar kecil, Daphline tak sengaja mendengar percakapan beberapa gadis. Diamati dari suaranya, itu adalah Seol, Hanna, dan Freya, kawan sekelasnya.

“Baru-baru ini aku melihat Daphline memasuki sebuah toko buah yang agak kumuh.” Demikian suara Seol. Teman-temannya menyahut dengan Oh, ya? Masa? dan sejenisnya.

“Betul. Seorang wanita menyambut. Postur tubuhnya mirip Daphline. Aku pikir itu ibunya.”

“Ah, jinjja? Bukankah waktu itu ia bilang orangtuanya adalah pemilik sebuah perusahaan tekstil?”

Ck. Kau seperti tak tahu saja sifatnya.”

Mendengar perkataan bernada sinis itu semua membuat hati Daphline merasa sakit. Ia menghela napas. Perlahan, dikeluarkan bolpoinnya dari dalam kantung jas, kemudian ia menulis di dalam lembaran kosong notes-nya.

Aku berharap Lee Seol tidak ada.

***

Saat istirahat tiba-tiba digemparkan dengan berita seorang gadis yang terjatuh dari atap sekolah. Hampir seluruh siswa berkumpul di atap sekolah dan melihat ke bawah, melihat Lee Seol yang kini tengah tergeletak di lantai dasar dengan bersimbah darah. Tak terkecuali Daphline yang ikut menyaksikan pemandangan tersebut.

Belum lama berdiri, Daphline dikejutkan dengan sosok yang tiba-tiba mampir di sebelahnya. Itu adalah kekasihnya, Kang Daniel, yang kini berdiri dengan wajah sedih.

Sekembalinya ke kelas, Daphline mendapat sebuah post-it yang ditempelkan pada botol minumnya.

Aku sudah melakukannya untukmu. Lain kali tolong menulis hal-hal yang baik saja tentang diriku.

***

Sesuatu yang baik bila berlebihan pun akan menjadi buruk. Demikian juga dengan perhatian serta perilaku manis yang terus menerus didapatkan secara intens akan menjadi sesuatu yang menjemukan. Awalnya Daphline merasa tersanjung dengan bagaimana Daniel memperlakukannya bagai seorang putri raja; menemaninya ke mana pun ia pergi, mengambilkan barang-barang untuknya, tak pernah lupa merangkul atau menggandeng tangannya, bahkan tak jarang memainkan satu lagu dengan gitar untuknya.

Tetapi, lama kelamaan Daphline jenuh akan semua perhatian itu. Ia juga butuh saat-saat sendiri, saat dimana ia berpikir dengan diri sendiri tanpa sosok Daniel. Ia rindu saat dimana ia bisa bermain dengan teman-teman yang lain tanpa diawasi setiap saat. Bahkan, menurut pengalamannya, makin lama Daniel makin menunjukkan sifat cemburu bahkan ketika Daphline berbicara soal pelajaran pada lelaki lain.

Daniel memang masih memberikan perhatian berlebihan untuknya, tetapi Daniel juga menuntut atensi sepenuhnya dari gadis itu. Egois.

Kini, Daphline duduk sendirian di taman. Ia berhasil melarikan diri dari Daniel untuk sejenak ketika lelaki itu ingin buang air kecil. Sambil mengisi paru-parunya dengan udara segar, gadis Ong itu menerawang. Ia ragu apakah ia harus mengakhiri hubungnnya dengan Daniel atau tidak.

Perlahan, ia membuka notes-nya. Pada sebuah lembaran kosong ia kembali menorehkan tinta.

Aku dan Kang Daniel sama-sama jenuh dengan hubungan ini. Kini kami mulai menjaga jarak.

Begitu Daniel tiba di hadapannya, Daphline menutup notes tersebut dan menyambut kekasihnya dengan senyum setengah hati

***

Daphline berlari secepat yang ia bisa, mengabaikan napasnya yang kini mulai terengah-engah beserta pasangan mata yang menatapnya bingung. Tujuannya hanya satu: cepat sampai di atap sekolah. Itulah yang memberikannya kekuatan untuk tetap berlari meski kini peluhnya telah membasahi seragam.

Tadi Woojin memberi tahu kalau Daniel sedang beradai di atap sekolah, tepatnya sedang berada di tepi atap sekolah, bersiap untuk terjun kebawah. Teman-teman telah berusaha untuk membujuknya turun, tetapi Daniel tak memberi perubahan niat yang berarti. Woojin berkesimpulan bahwa kini Daphline sebagai sang kekasihlah yang harus turun tangan.

Benar saja. Sesampainya ia di atap sekolah, tampak kerumunan siswa yang sedang membujuk Daniel yang kini sedang duduk dengan punggung yang condong ke bawah. Meski terhalang sinar mentari, Daphline dapat menangkap ekspresi sedih yang tergambar pada wajah kekasihnya.

Dengan penuh keberanian Daphline yang bertubuh mungil berusaha menembus kerumunan tersebut.

“Kang Daniel,” bujuknya. “Aku di sini. Ayo, turun.”

Daniel hanya menatap Daphline sendu tanpa bergerak seinci pun.

“Kalau kau tak mencintaiku, apa gunanya aku hidup, Daphline-ah?” lirih Daniel.

Daphline kembali keluar dari kerumunan. Membelakangi teman-temannya, ia menulis di sebuah halaman kosong notes-nya. Dengan tergesa, tentu saja.

Kang Daniel mencintaiku lagi. Dan ia berpikir harus tetap hidup.

Seketika pemuda Kang turun, lalu menghampiri Daphline dan mendekapnya erat, mengabaikan puluhan pasang mata yang kini menatapnya bingung dengan perilakunya yang begitu tiba-tiba.

“Apapun akan kulakukan untukmu, Daphline yang kucintai. Mulai sekarang tolong hanya menulis segala sesuatu yang pas tentangku.”

***

Daphline hanya bisa berdiri mematung di depan pintu putih tersebut. Sementara ia menggigit bibir bawahnya, otaknya mempertimbangkan keputusan yang ia buat dengan baik. Notes sampul cokelat vintage itu masih ia dekap erat di dada. Ia terlihat gelisah, tak tahu apa yang harus dilakukan.

Pada akhirnya, dengan perlahan ia membuka kenop pintu tersebut, lalu masuk.

Guru Ahn menyambutnya dengan senyum tipis.

“Bu, saya mau mengembalikan buku ini.”

Daphline meletakkan notes-nya di meja sang guru. “Saya tidak yakin bisa lanjut menuliskannya kembali,” lanjut gadis Ong itu. “Dan saya mohon, semuanya dikembalikan seperti semula.”

“Lho, mengapa?” Sang guru balas bertanya. “Bukankah sudah kewajiban bagi seorang penulis untuk menyelesaikan ceritanya sampai tamat?”

“Dengan kata lain, kisah ini tidak bisa dihentikan di tengah jalan?” Daphline memastikan. “Kalau saya melanjutkannya, maka saya tak ubahnya seorang penulis yang menuliskan kebohongan.”

“Lalu saya harus bagaimana?”

Daphline meringis, seraya kepalanya tertunduk. Ia merasa ini tidak mungkin lagi. Kini guru di hadapannya memaksanya untuk menuliskan dusta.

“Plus, semua yang kaukatakan akan menjadi kebohongan,” tambah sang guru.

Tak tahan, begitu gadis itu keluar dari ruang bimbingan konseling, ia memutuskan untuk melempar notes-nya ke dalam tempat pembakaran sampah sekolah. Setelah itu ia memutuskan untuk pergi ke kelas dan menelungkupkan kepala di atas mejanya.

***

Entah sudah berapa lama Daphline tertidur di kelas karena ketika kesadarannya kembali, ia melihat kelasnya telah sepi dan gelap. Gadis itu membereskan barang-barangnya, bermaksud untuk pulang ke rumah. Namun, seseorang muncul dengan membawa notes yang setengah terbakar. Dan tampaknya orang itu pun juga setengah terbakar sebab beberapa tanda hangus terlihat baik di kulit maupun seragamnya.

Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Kang Daniel.

“Kau tak bisa meninggalkanku dengan cara seperti ini, Daphline-ah,” ujar lelaki itu.

Spontan Daphline berteriak, dan lantas berlari meninggalkan ruangan.

Ia tak tahu kemana harus berlari atau kemana harus bersembunyi, sebab rasa takut terlebih dahulu menguasai dirinya, membuat ia tak bisa berpikir jernih. Seluruh gedung sekolah telah gelap dan sepi, menambah kengerian gadis itu. Lagi, meski ia telah berlari sejauh yang ia bisa, begitu ia menengok ke belakang, ia selalu bisa menangkap bayangan Kang Daniel yang masih mengejarnya.

Demi bolpoin merah jambu dengan hiasan bulu miliknya, ingin rasanya Daphline menangis sejadi-jadinya sekarang.

Sebuah titik cahaya yang muncul di jendela menjadi satu-satunya harapan bagi dara itu. Mengerahkan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, Daphline berlari menuju sumber cahaya tersebut. Ia tak peduli itu ruangan apa; setidaknya ia bisa bersembunyi di sana.

Beruntung, pintunya tak terkunci. Daphline cepat-cepat masuk, dan lantas menutup pun mengunci pintu di belakangnya. Ia terdiam dengan napas terengah-engah plus raut wajah ketakutan.

Satu lagi hal yang patut disyukuri, rupanya di dalam ruangan tersebut masih ada orang, yaitu Ong Seongwoo dan Kim Sejeong yang kini menatapnya dengan heran.

“Daphline-ah ….”

Daphline sudah tak tahan lagi. Ia berlari dan serta merta memeluk temannya atas dasar ketakutan, tanpa menyadari bahwa yang ia peluk erat adalah Seongwoo yang kini menegangkan punggung karena terkejut.

“Daphline-ah,” ujar Sejeong lembut, “ada apa?”

“Daniel … Daniel ….”

Belum sempat Daphline menjelaskan, ketiganya dikejutkan dengan bunyi gedoran keras di pintu. Atensi ketiganya teralih. Pintu pun berhasil didobrak, dan Daniel memasuki ruangan. Daphline segera bersembunyi di belakang Seongwoo.

“Kau tak bisa perlakukan aku seperti ini,” ucap Daniel.

Sejeong menatap Daniel yang berpenampilan aneh dengan takut-takut. “Hei, Kang Daniel. Ada apa denganmu?”

Seongwoo mencoba menengahi bahwa mungkin terjadi kesalahpahaman antara pasangan ini, dan mungkin gadis yang Daniel cari bukanlah Daphline.

“Aku kemari karena aku menginginkannya,” sahut Daniel dengan tatapan tajam yang terarah pada Daphline.

Gadis Ong itu memberanikan diri untuk mengungkapkan bahwa sekarang yang ia inginkan adalah berhenti.

“Yang kuinginkan hanyalah cintamu, Daphline-ah …. Itu sebabnya aku ada. Apakah itu sangat sulit?”

Daphline terduduk, seraya frasa maaf berkali-kali terucap dari mulutnya.

Sejeong dan Seongwoo berusaha keluar dari ruangan tersebut untuk melarikan diri. Daphline paham. Ia pun tak ingin menyeret dua temannya kepada permasalahan yang tak sengaja ia timbulkan.

Sekuat tenaga Daphline menyeret diri untuk mendekati Daniel. Bukan, bukan untuk kembali pada pemuda itu tentu saja. Satu-satunya yang ia inginkan adalah notes setengah hangus yang ada dalam genggaman pemuda itu.

Tangannya yang gemetar terulur, berusaha merebut notes tersebut. HAP! Begitu ia berhasil meraihnya, cepat-cepat Daphline mengambil pena di atas meja, membuka sembarang halaman, dan segera menulis dengan sangat tergesa-gesa.

Aku dan Daniel ingin mengakhiri semua ini.

.

Esoknya, kabar menggemparkan menimpa sekolah menengah tersebut. Ditemukan dua mayat siswa yang diduga terjatuh dari atap sekolah.

Seorang siswi dengan tag nama Daphline Ong.

Dan seorang pemuda dengan tag nama Kang Daniel.

 

-fin-

A/N

Panjang dan tak berfaedah… Hahaha mungkin ini yang kalian pikirkan stelah membaca ff ini wkwkwk Maklum baru pertama kali nulis genre ginian jadi mungkin agak di luar ekspetasi, tetapi siapapun dari kalian yang mampir ke sini atas dasar sengaja or tidak sengaja, thanks ya sudah membaca..

Anyway, mind to review? 🙂

9 thoughts on “[Oneshot] EXIST

  1. Yaaaaaaaa, saya nggak tau lagi mau komen gimana kak, mau mulai darimana juga nggak ngerti aaaaaaaaaaaaaa😭😭😭

    Well, yang pertama, aku suka penggambaran karakter daniel di sini! Entah jiwa yeoleojwo saya lagi kambuh atau gimana, waktu sampe bagian daniel yg awalnya sweet2 bikin baper malah berakhir jadi hangus setengah kebakar, terus jadi badboy cem cowok2 bgs*d yang berubah jadi jahat gitu AAAAAAAA, aku langsung bisa memvisualisasikan gimana ekspresi dia yg pembawaannya kalem2 serem pas ngejar2 si cewek :”))

    Kedua, ini sedikit dikasih bumbu uneg2 ugha yha kayanya, berharap fiksi yg kita tulis berujung kenyataan /yha/ /sambil dikasih sedikit unsur jalan kehidupan kita/ /ga/

    Ketiga, ini temennya death note ya kak? Story of my life-note kayanya /plak/. Kalo death note kan tinggal nulis nama org langsung mati, kalo ini ngarang kehidupan kyaaaa berasa jagoan syekali bisa nulisin takdir sendiri huhuhuuu… Apalagi bisa milih jodoh :”) duh gusti, kalo aku jadi mba nya mah uda aku embat itu kak 35 trainee semuanya /GAGITUDON/

    Terus kenapa aku bayangin ahn ssaem ini ahn hyungseob? /DITEBAS/ padahal jelas2 dipanggil “bu” tapi kenapa ini otak bawaannya mikir cowo mulu sih pfth.. /lalu khilaf/

    Terus gatau kenapa aku kok seneng ya baca endingnya? Kelainan atau gimana aku ini?😂😂😂 kan seru kak ya bunuh diri sama pacar demi mengakhiri kehidupan cinta /ga/ terus aku mikir hal lain nih, pas mereka wes mati, aku bayangin itu bolpen si mba nya nulis2 sendiri di note: “Aku dan Daniel akhirnya memutuskan untuk terjun bebas dari atap sekolah untuk mengakhiri kisah cinta kita. Daniel, terima kasih karena telah mewarnai hidupku, membuatku tidak merasa kesepian lagi.”

    SHIT! CREEPY AFFFFFFFF💔💔💔💔

    Dah gitu sahaja kakge, NICE FIC, KEEP WRITING AS ALWAYS!!!

    Ps; YOON JISUNG COMING SOON YHA JAN LUPA

    /gelinding/

    Liked by 1 person

    • DONNA THANKS FOR YOUR LONG REVIEW HAHHAHHA SIK AKU SMPE BINGUNG BAHASNYA DR MANA XD

      pertama, ini sebenarnya dirancang jauh sebelum yeoleojwo mulai but terima kasih lah saya yeoleojwo yg bkin ini penggambaran daniel jd semakin nyata(?) kebangsulannya yha
      kedua… iya anggap saja demikian pengen kali2 atuh ff kita jd kenyataan bhks XD
      percayalah kalau aku bayangin jg ini gurunya hyungseob. beneran. cuma anggap aja dia versi cewek. yha

      udah ah bingung gmn makasih kamu udh suka hahhhah thanks jg udh mampir sayyy

      Liked by 1 person

  2. Hwa…..

    Saya mau nangis soalnya ini ternyata fantasy juga ya ga sih masuknya???

    Mom emang terbaik tia sukaaa:((((((( gabisa komen panjang panjang tapi yang jelas mom ini bagus:-( aku kira ini danielnya bunuh daphline ok

    Eh ternyata

    Like

How does it taste?