The Promise He Had with Her

hello

THE PROMISE HE HAD WITH HER

.

Slice-of-life, Family / Vignette / General

[Ahn Hyungseob x Ahn Hyori]

Ahn Hyori memang dingin dan pendiam, tetapi masa sih ia tahan mendiamkan orang sampai sedemikian lamanya?

© 2018 by graesthetic

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

Aku tahu ada sesuatu yang salah dengan Ahn Hyori.

Caranya mendiamkanku, caranya mengabaikanku, caranya menghindari semua interaksi denganku. Well, aku tahu pada dasarnya Hyori adalah tipikal gadis dingin yang amat pendiam nan tertutup. Aku tak pernah berharap dia menjadi pihak pencetus konversasi pertama ataupun berinisiasi menjalin interaksi pertama kali. Kalaupun percakapan telah dimulai, biasanya Hyori akan menanggapi seadanya, dengan ekspresi wajah datar. Seseorang yang amat dingin, indeed.

Hanya saja, kurasa kali ini sikapnya berlebihan. Bukan hanya memberi jawaban satu dua kata atas pertanyaan yang kuajukan, ia bahkan tak mau menjawabku sama sekali. Ia selalu membiarkan perkataan, pertanyaan, celotehan, dan sapaanku menguap di udara. Lebih parahnya, Hyori menghindariku. Ia melengos begitu saja ketika kami berpapasan. Ia akan berbalik badan jika aku dan dia sama-sama menyadari keberadaan masing-masing. Ia hanya memalingkan wajah ketika aku menyapanya. Padahal, jika dipikir ulang, kami tinggal satu atap dan mengecap pendidikan di tempat yang sama. Secara logika, akan sangat banyak interaksi yang tercipta di antara kami, kan? Mau ke mana Hyori terus-menerus menghindariku?

Tentang raut wajahnya. Hyori memang dikenal dengan gadis tanpa ekspresi. Raut wajahnya hampir selalu datar, dalam keadaan apapun. Hanya sesekali aku menemukannya menangis sendirian, ataupun mendapatinya tersenyum. Dan itu hanya terjadi di rumah.

Tetapi akhir-akhir ini, aku menyadari ada yang berbeda dengannya, terutama tatapan matanya. Hyori masihlah gadis tanpa ekspresi yang sama, hanya saja belakangan ini aku mendapati sorot ketidaksukaan yang terpancar dari dwimanik gelapnya yang selalu ia hujamkan padaku.

Aku memutar otak, berusaha melakukan kilas balik akan apa saja yang pernah kulakukan atau kukatakan padanya, kalau-kalau aku ada salah bertindak atau berucap. Tapi, berapa keras aku mengingat ke belakang pun, tak ada satu kesalahan pun yang rasanya pernah kuperbuat pada Hyori belakangan ini. Aku selalu memperlakukan dirinya dengan baik, tidak pernah bertengkar atau adu mulut dengannya. Tak ada selisih pendapat yang terjadi di antara kami belakangan ini.

Berulang kali aku bermaksud menanyakan langsung padanya apa gerangan yang membuat ia bersikap seperti ini. Tetapi jangankan mendengarkan pertanyaanku, bahkan begitu ia melihat presensiku saja ia langsung menjauh.

Lantas, ada apa?

***

Dua minggu telah berlalu sejak perubahan sikap Hyori kusadari untuk pertama kalinya. Hyori masih bersikap dingin padaku, mendiamkanku, menghindariku. Well, aku sudah mulai terbiasa. Tetapi rasanya tetap saja menyesakkan. Bayangkan, saudaramu satu-satunya—meski aku dan Hyori sebenarnya adalah saudara angkat—tidak mencakapimu untuk dua minggu penuh. Jujur saja, aku tersiksa. Selain itu, aku juga penasaran apa yang terlintas di benak gadis itu selama dua minggu ini. Apa yang ia pikirkan ketika melihatku, bagaimana ia melewati hari-hari belakangan ini tanpa sekali pun berinteraksi denganku.

Sore ini, kulihat Hyori sedang duduk di salah satu kursi taman belakang rumah kami. Terfokus pada buku tebal yang ada di pangkuannya. Kuterka itu adalah salah satu buku referensi kuliahnya. Hyori adalah tipe pelajar keras, omong-omong. Beberapa helai rambutnya berkibar, tertiup angin sore.

Aku menghela napas, mengingat betapa menyedihkannya hubungan kami akhir-akhir ini. Ingin rasanya aku menghampirinya, sekadar untuk bertukar sapaan layaknya saudara serumah. Aku tak mengharapkan balasan darinya, yang penting ia mau menerima presensiku.

Beribu kemungkinan terlintas di benakku. Haruskah aku mendatanginya? Akankah ia terganggu dengan kedatanganku? Apakah ia kembali akan menghindar ketika aku menghampirinya?

Sebuah keputusan bulat telah kubuat. Dengan segelas jus campur bayam dan jeruk—kesukaannya—perlahan kurajut langkah menuju taman belakang rumah, mendatanginya.

Ia masih belum menyadari presensiku. Tampaknya ia terlalu larut dalam bacaannya tersebut.

“Ahn Hyori … “ panggilku pelan, seraya kuletakkan jus dingin buatanku tersebut di meja dekatnya.

Hyori mengangkat kepala, dan pandangan kami bertemu untuk beberapa saat, sebelum kemudian gadis itu menutup bukunya dan bangkit berdiri.

“Setidaknya minum dulu jusnya sebelum kau pergi. Aku yang membuatnya sendiri,” ucapku dengan kepala tertunduk. Yah, aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.

Hyori melirik gelas jus pemberianku, lantas mulai menenggak isinya.

“Kau marah padaku, Hyo?” tanyaku langsung. Mumpung Hyori masih berada pada titik pijakan yang sama, mumpung ia sedang menghabiskan jusnya. Aku tidak yakin punya kesempatan lain untuk bisa menemuinya seperti ini tanpa ia pergi menghindariku.

Hyori meletakkan gelas kembali ke atas meja. Ia masih bungkam, tetapi tatapan menusuk itu kembali ia lemparkan padaku.

“Kalau aku salah, aku minta maaf,” lanjutku, “katakan saja apa kesalahanku. Aku akan berusaha memperbaikinya. Hanya saja … jangan diamkan aku tanpa alasan seperti ini.”

Kendati demikian, Hyori masih mengunci mulutnya.

“Rasanya tidak enak, Hyo, tidak bisa berinteraksi sama sekali denganmu. Kita bertemu setiap hari, saling melihat keberadaan masing-masing setiap hari, tetapi tidak bisa bercakap-cakap. Aku ragu untuk menyapamu, bahkan mendekatimu. Aku takut membuatmu tidak nyaman dengan keberadaanku, karena selama ini kau menghindariku. Ada apa, Hyo? Apa aku ada salah kepadamu?”

Gadis itu tetap saja tidak bersuara, tetapi aku menangkap perubahan di sorot matanya.

Sebuah helaan napas lolos dari mulutku. Sedikit merasa menyesal karena telah bersikap melankolis dan berekspetasi terlalu tinggi dari seorang Ahn Hyori yang dingin. “Baiklah, Hyo. Maaf kalau aku mengganggu waktu belajarmu.”

Aku bermaksud pergi, tetapi gumaman Hyori yang tertangkap oleh pendengaranku membuat langkahku berhenti.

“Seob-a … kau benar-benar mencintai Choi Yena?”

Keningku otomatis berkerut begitu mendengar pertanyaannya. Aku berbalik, mendapati Hyori yang menatapku lurus dengan wajah tanpa ekspresinya.

Choi Yena. Gadis manis kuncir satu itu adalah partner praktikumku sejak semester satu. Gadis humoris yang senang tertawa serta melontarkan lelucon hangat. Akibat cukup banyaknya interaksi yang terjadi di antara kami membuat aku merasa dekat dengannya, kemudian kedekatan itu berangsur berubah menjadi rasa suka yang mulai kusadari menjelang semester dua. Aku baru berani menyatakan perasaanku padanya pertengahan semester tiga ini, dan akhirnya kami resmi berpacaran sejak satu bulan yang lalu.

Pertanyaannya, mengapa Hyori membawa-bawa nama Yena?

“Ya,” jawabku atas pertanyaannya. “Kenapa?”

“Ya sudah kalau begitu.” Usai berkata demikian, Hyori beranjak dari titik pijakannya.

Aku tahu bahwa sebenarnya percakapan ini belum berakhir. Meski Hyori berlagak bahwa masalah ini sudah usai dengan responnya yang terakhir, aku tahu bahwa masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Tinggal bersamanya sejak kecil membuatku paham kapan waktu Hyori berbohong dan kapan waktu ia berkata jujur, meski ia cenderung untuk menyembunyikan perasaannya di balik ekspresi datar dan sikap dinginnya.

Karena itu, kususul langkahnya, lalu kutangkap pergelangan tangannya untuk mencegahnya berjalan lebih jauh.

“Ahn Hyori, kau cemburu?” Itu adalah pertanyaan pertama yang terlintas di benakku.

Ia diam, tetapi aku sempat menangkap matanya yang membola, meski sekilas.

“Kau cemburu,” tegasku lagi. Kali ini, Hyori menunduk.

Aku tersenyum tipis. Setidaknya aku telah menangkap akar di balik sikap anehnya akhir-akhir ini. “Kenapa?” pancingku.

Ia menggeleng. Sepertinya ia tak mau menjawab.

“Hyo … “ panggilku lembut. Kuletakkan kedua tanganku pada pundaknya. “Ahn Hyori, coba liat aku.”

Hyori mengangkat kepalanya sedikit dan melirik ke arahku.

“Kenapa kau cemburu?”

Ia menggigit bibir bawahnya untuk beberapa saat. Aku tidak memaksanya untuk menjawab detik itu juga. Aku tahu ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Hyori bukan tipe orang yang mudah untuk mengekspresikan perasaannya, aku paham benar hal itu.

“Kau tidak akan mengabaikanku setelah ini, kan, Seob-a? Karena gadis itu?” ucap Hyori, lirih.

Aku melepas pegangan tanganku dari pundaknya, lantas tertawa kecil. “Wow, itu adalah rangkaian kata terpanjang yang kudengar dari mulutmu selama dua minggu ini, Hyo!” candaku.

Hyori tidak memberi respon apapun, selain kembali menatapku dengan ekspresi datar.

“Tentu saja tidak akan, Hyori-ya. Aku memang mencintai Yena, tetapi kau akan selalu menjadi yang paling pertama dalam skala prioritasku. Family comes first, itu prinsipku.” Tanganku terulur untuk mengacak rambut Hyori pelan. “Karena itu, jangan lagi cemburu dan mendiamkanku, ya, Hyo?”

Hyori menganggukkan kepalanya sekali.

Aku tersenyum. “Hyo, can I hug you?”

Hyori terdiam sejenak, tetapi kemudian kembali mengangguk. Aku pun melingkarkan kedua lengan di sekeliling pundaknya, membawanya dalam sebuah pelukan longgar.

Ahn Hyori, gadis dingin yang jalan pikirnya amat sulit ditebak. Tetapi aku menyayanginya. Dan sesuai janjiku, ia akan selalu menjadi yang pertama dalam hatiku.

Karena ia adalah sahabatku, saudariku.

 

-fin-

A/N

  • Akhirnya Ahn Hyori resmi debut! Welcome to the club, Hyo-ya ^^
  • Lagi kangen sama Ahn Hyungseob ceritanya jadi begini
  • Tapi keliatannya fic ini agak failed
  • Ya udah. Silakan meninggalkan jejak usai mampir 🙂

 

5 thoughts on “The Promise He Had with Her

  1. halo kak geceeeee! aku datang~
    ini aku baca summary-nya udah penasaran loh, makanya gapake milih langsung baca yang ini aja duluuu. aku suka sama narasinya! ngga terlalu bertele-tele tapi jelas, dan ngalirrr banget. duh kalo baca yang siblings gini aku jadi pengen punya kakak cowok deh huhuhu )): hyori nya sumpah betah banget diem dieman 2 minggu. 2 minggu lohhhh!!! aku 2 hari tengkar sama sodara palingan juga baikan lagi wkakaka )): ((trs knp han)). i was expecting for a twist di akhir, kaya dikerjain apa gimana, eh ternyata ngambek beneran si hyori maafkeun ((YHA MAKANYA JANGAN RECEH HAN)).
    ini menghibur kak! endingnya bikin dadaku anget. asik pasti punya kakak cowok yaa :” ((masih aja)). semangat nulis kak gecee! luv ❤

    Liked by 1 person

    • welcome hani … /tebar confetti/
      first of all, terima kasih sudah mampir ke fic ku ini 🙂
      waaaa…. padahal aku ngerasa agak ngestuck juga sebenarnya ketika ngerangkai narasinya, but thanks utk pujianmu

      hahahaha sama… apalagi kakak cowok yang kayak perhatian, didiemin saudaranya juga ttp berusaha nge-approach lagi …. yah kayak hyungseob gini lah 😀

      terima kasih hani.. kamu juga semangat untuk berkarya lagi ya 🙂

      Like

  2. Satu pertanyaan konyol yang tercetak di benakku, “Hyori unnie, apa kau suka dengan si tengil Hyungseob?” /Oke siap, abis ini saya akan dilirik tajam sama hyori dan dibuang/
    TAPI INI KATA-KATANYA NGALIR IH, KUSUKA >.<
    Jujur, aku gak tau harus bilang apa hing. After all aku suka jalan ceritanya, bisa bayangin gimana takutnya si ucup mau nyapa hyori dan tanya alasan hyori mendiamkannya. Aku suka semuanya pokoknya unch ^^
    Btw, maap saya nyampah unfaedah disini, but keep writing, Kak ^^

    Liked by 1 person

    • Hhahahahha tidak2… Dia sbnrnya takut aja kalo habis ini ucup tuh kayak nggak merhatiin dia lagi, soalnya kalo kamu baca profil dia, bagi hyori itu cm hyungseob yg dia punya.. Gitulah

      Makasih udh mampir ya 🙂

      Liked by 1 person

How does it taste?