Our Personal Supporting System

photogrid_1546573496228

[Kim Mingyu, Hwang Hyunjin, & Im Youngmin]

© 2019 by graesthetic

.

[#1 : Kim Mingyu]

Hari ini, aku berencana untuk mengurung diri di kamar. Bukan berhibernasi pun bersemedi. Aku ingin menenggelamkan diri dalam buku-buku pelajaran serta soal-soal try out-ku. Ujian kelulusan sudah semakin dekat, dan aku rasa persiapanku selama ini belum cukup untuk mencapai hasil yang memuaskan.

Jadi, berhubung ini akhir pekan dan aku tidak punya kegiatan sama sekali, aku meminta izin kepada keluargaku untuk mengisolasi diriku di dalam kamar dan menjadi seorang antisosial selama hampir seharian penuh.

Lebih dari setengah hari berlalu. Aku masih betah menyendiri dalam ruangan pribadiku yang bernuansa putih. Aku benar-benar hanya keluar kamar untuk buang air serta makan. Selebihnya aku habiskan di dalam kamar, bersama dengan buku-buku pelajaran, buku latihan soal, dan tumpukan kertas-kertas latihan ujian yang berserakan.

Aku masih mengerjakan soal try out matematika yang sangat menguras otak. Satu sisi aku sudah mulai gemas karena tak kunjung mendapatkan jawaban yang tepat sesuai pilihan, meski aku telah menghitungnya berulang kali dan memastikan tidak ada kesalahan. Ingin rasanya kuremas kertas soal tersebut dan melemparnya ke tempat sampah. Tetapi di sisi lain, kuriositasku masih tergelitik untuk mencari jawaban yang sebenarnya.

Tok tok tok tok

Kudengar suara ketukan di pintu kamar. Bukan hanya sekali, tetapi berulang kali. Awalnya, aku mencoba untuk mengabaikan. Aku sudah minta izin kepada seisi keluarga agar tidak menggangguku saat sedang belajar. Jadi, wajar ‘kan kalau aku bersikap tak acuh pada entah siapapun yang mengetuk pintu kamarku tersebut?

Tetapi, lama-lama aku terganggu pada ketukan pintu yang tak kunjung berhenti itu. Konsentrasiku perlahan buyar. Terakhir, karena kesal, aku berjalan menuju pintu kamar dan membukanya.

Kak Mingyu sedang berdiri di depan kamar, menatapku dengan cengiran lebar.

Aku mendongak, melemparkan tatapan jengkel pada kakakku yang tingginya sangat memang sangat menjulang.

“Apa sih, Kak?! Aku ‘kan sudah bilang kalau seharian ini aku tidak mau digang—Oh? Ini apa, Kak?”

Tadinya aku ingin menyemburkan berbagai macam gerutuan pada Kak Mingyu yang berani-beraninya menggangguku yang memiliki banyak beban pikiran ini. Tetapi ketika ia menyodorkan sepiring panganan dengan harum yang menggugah selera ke arahku, seketika hampir seluruh kejengkelanku menguap.

“Roti panggang cokelat keju. Untuk menemanimu belajar,” jawab Kak Mingyu dengan senyum. Lalu tangannya bergerak mengacak poniku pelan. “Semangat belajarnya ya, Sintia. Sukses untuk ujian akhirnya.”

Melihat Kak Mingyu tersenyum, mau tak mau aku pun ikut mengulas senyum.

Thanks, Kak.”

***

[#2 : Hwang Hyunjin]

Sore ini perasaanku sedang tidak baik. Dengan wajah kusut aku menyeret kedua tungkai, melangkah keluar dari gedung bimbingan belajarku. Rasanya, aku ingin cepat-cepat sampai di rumah, melemparkan diri ke tempat tidur yang empuk. Badanku benar-benar letih dan sudah meminta untuk diistirahatkan. Belum lagi persoalan tentang ujian kelulusan yang sebentar lagi tiba serta nilai-nilaiku terus membayangi pikiranku.

“Donna!”

Spontan kepalaku menoleh hampir sembilan puluh derajat ketika mendengar namaku dipanggil. Beberapa sekon kugunakan untuk mencari sumber suara—tak mudah karena ada banyak orang yang lalu-lalang di pintu gedung—hingga akhirnya dwimanikku menangkap kehadiran Kak Hyunjin. Ia berada beberapa meter di hadapanku, berdiri dengan punggung bersandar pada pilar. Sebelah tangannya melambai ke arahku.

Tanpa bisa dicegah, kedua sudut bibirku terangkat begitu melihat presensi kekasihku tersebut.

“Ada apa Kak Hyunjin kemari?” tanyaku setelah menghampirinya.

Ia menyuruhku untuk melepas ransel di punggungku agar ia bisa menggantikan memanggulnya. “Menjemputmu, tentu saja. Aku ‘kan sudah kuliah, tidak mungkin lagi ikut belajar di sini.”

Aku lekas menunduk ketika merasa pipiku menghangat. Jangan sampai Kak Hyunjin melihat pipiku yang semerah kepiting rebus. “Ya, siapa tahu saja hendak temu-kangen dengan guru-guru, Kak. Dulu ‘kan Kakak juga bimbel di sini.”

Kami kemudian berjalan berdampingan menuju lapangan parkir gedung, tempat Kak Hyunjin memarkirkan motornya.

Tentu saja aku gembira dengan kedatangan Kak Hyunjin yang tiba-tiba ini. Rasanya, hanya dengan melihat senyuman Kak Hyunjin saja beban di pundakku terangkat setengah. Senyumannya ampuh untuk menghibur hati yang sedih, menghilangkan amarah, dan membahagiakan orang yang melihatnya. Ya, bagiku Kak Hyunjin memiliki dampak sedahsyat itu.

Tapi tak bisa kupungkiri, bayang-bayang akan ujian akhir terus saja mengganggu pikiranku. Ditambah lagi, kejadian sore ini di tempat bimbingan belajar yang rasanya semakin membuat perasaanku kacau balau.

“Kamu kok diam saja, Don?” Kak Hyunjin berucap. Mungkin ia menangkap kebisuanku sejak tadi. “Kamu capek, ya?”

Kuanggukkan kepala pelan.

“Ada cerita yang ingin kamu bagikan, mungkin?” tanyanya lembut.

Aku menarik napas sejenak, mencoba merangkai kata untuk menyampaikan isi hatiku yang terasa kalut. “Hasil tryout bimbel sudah keluar. Nilaiku tidak sesuai ekspetasi.”

“Kamu dapat peringkat berapa?”

“Dua puluh lima.”

Out of?”

“Dua ratus peserta.”

“Itu sudah bagus!” balas Kak Hyunjin. Aku menangkap tatapannya yang terarah lurus padaku. Senyuman bangga terulas di labiumnya.

“Peringkat 25 dari dua ratus orang itu sudah sangat bagus, Donna,” ulangnya lagi dengan penekanan pada empat kata terakhir. “Nilaimu pasti di atas rata-rata, kan?”

“Iya sih, Kak,” aku mengangguk kecil, menyetujui kata-katanya. “Tapi aku sudah mempunyai target untuk mencapai peringkat sepuluh besar, Kak. Lagipula, peringkat kita di bimbel ini tidak bisa dijadikan patokan. Maksudku, saingan kita pada ujian sebenarnya bukan hanya siswa dari bimbel ini saja, tetapi seluruh siswa seangkatanku di berbagai daerah. Benar, kan?”

Kak Hyunjin memegang kedua bahuku, kemudian membungkuk dan menyejajarkan pandangannya persis di depan dwimanikku. “Don, don’t force yourself. Kamu sudah meraih pencapaian yang luar biasa. You should be proud of yourself. Kamu juga butuh rileks, Don. Otakmu bisa korslet jika terus menerus di-forsir seperti ini. Aku tidak bilang bahwa kamu sudah tidak perlu belajar lagi. Tetapi belajar, karena ujian kelulusanmu sudah dekat, berusaha sebaik mungkin dalam mengerjakan tes, lalu berikan penghargaan pada dirimu sendiri atas usahamu.”

Aku tidak menanggapi perkataan Kak Hyunjin. Aku larut dalam pikiranku sendiri.

Okay, I get it.” Kak Hyunjin kembali berdiri tegak. Ia mengelus puncak kepalaku sekilas. “Kamu pasti sudah lelah dan ingin cepat pulang. Ya sudah, aku antar kamu pulang, kamu istirahat dulu malam ini. Besok adalah akhir pekan, aku tidak ada jadwal kuliah. Aku mungkin bisa datang ke rumahmu untuk menemanimu belajar. Kamu bisa menanyakan padaku tentang materi yang masih tidak kamu mengerti. Bagaimana?”

Oh ya, apakah aku sudah cerita kalau senyum Kak Hyunjin itu menular?

Ya, bibirku otomatis menyunggingkan senyum begitu melihat senyuman darinya.

“Oke, Kak.”

***

[#3 : Im Youngmin]

“Dif ….”

Nyawaku yang hampir melayang menuju alam mimpi perlahan kembali tatkala kurasakan guncangan lembut pada bahu. Kubuka kedua kelopak mata sedikit demi sedikit, kemudian mendapati seseorang telah berada di sampingku. Ia juga meletakkan kepala—berhadapan persis denganku—di atas meja, menindih kedua lengannya, sama seperti yang kulakukan.

Aku memfokuskan penglihatan, hingga akhirnya kusadari bahwa sosok di sampingku itu adalah Kak Youngmin, sahabatku sejak kecil.

“Kak Youngmin?” Aku buru-buru menegakkan posisi dudukku. Kuusap wajah dengan tangan, memastikan bahwa penampilanku baik dan terlebih lagi tidak ada aliran air liur yang keluar dari sudut bibirku.

Kak Youngmin ikut menegakkan punggung, lantas tertawa kecil. “Kelihatannya, sih, rajin sekali murid yang satu ini. Membawa buku-buku ke perpustakaan lalu belajar dengan tekun. Eh, ternyata malah tertidur,” celetuknya dengan nada jenaka.

Aku pun menunduk, malu. Oh, aku ingin lari dari sini sekarang.

“Sedang apa Kakak di sini?” Aku mengajukan pertanyaan, sengaja mengganti topik karena tak ingin Kak Youngmin terus menerus menggodaku. Lagipula, aku juga penasaran mengapa Kak Youngmin yang sudah lulus masih mengunjungi sekolahnya ini.

“Mengambil ijazah, buku tahunan, sekaligus berjumpa kembali dengan guru-guru. Aku juga sempat bertukar sapa dan bercengkrama dengan Pak Joe, penjaga perpustakaan. Beliau masih sehat rupanya, ya, meski sudah lanjut usia? Nah, lalu aku melihat sosok seorang gadis yang tertidur dengan wajah tertelungkup di atas meja. Jadi … begitulah.”

Kak, berhenti menggodaku …. Kumohon … jeritku dalam hati.

“Omong-omong, kamu sedang belajar apa, sampai akhirnya tertidur?” tanya Kak Youngmin. Wajahnya sama sekali tak menyiratkan ekspresi jenaka atau merasa bersalah ketika ia kembali menyinggung soal aku yang tertidur, sementara obsidiannya menilik tumpukan buku yang kuletakkan dia atas meja.

Aku menarik napas, meredam gerutuanku atas godaannya. “Geografi, Kak. Banyak sekali yang harus dihafalkan. Sengaja aku memilih membaca di perpustakaan agar tidak terganggu oleh suara ribut-ribut. Tetapi, mungkin karena terlalu hening, aku malah tertidur,” jelasku. Sekalian saja kuungkit perihal tidurku yang sebenarnya tidak penting itu.

Kak Youngmin pun kembali tertawa kecil.

“Kalian tidak lama lagi akan mengikuti ujian kelulusan, ya?” tanya Kak Youngmin. Setelah aku mengangguk sebagai jawaban, ia kembali berucap, “Semangat, ya. Banyak-banyak belajar. Pelajari baik-baik materi bahkan dari semester awal. Kerjakan latihan soal yang banyak, agar kamu terbiasa.”

“Oke, Kak.”

“Oh ya, jaga kesehatan juga. Banyak makan buah, sayur, vitamin. Jangan sampai sakit di tengah-tengah jadwal padat penuh ujian seperti ini. Susah untuk mengejar ketinggalan jika kamu sampai sakit. Oke?”

Gantian aku yang tertawa kecil. “Kakak sekarang terdengar seperti ibuku.”

“Kelak kamu akan berterima kasih padaku karena telah mengomelimu seperti ini,” balasnya. Aku pun mengangguk.

“Sudah, baca lagi geografimu itu. Aku akan menemanimu di sini. Jaga-jaga, siapa tahu kamu tertidur lagi,” cetus Kak Youngmin.

“Terima kasih, Kak.”

“Oh ya, Dif. Supaya kamu tidak mengantuk, ini untukmu.” Kak Youngmin merogoh saku jaket abu-abunya dan mengeluarkan sekaleng kopi, lalu meletakkannya di dekat buku geografiku. “Minum saja, tapi jangan ketahuan oleh Pak Joe, ya. Peraturannya ‘kan tidak boleh makan atau minum di dalam perpustakaan. Tapi minum saja, lah.”

“Astaga …,“ responku, tak tahu harus membalas apa.

“Tadi aku membeli kopi itu di kantin untuk kuminum sendiri. Tapi kurasa gadis yang rawan mengantuk ini lebih memerlukannya. Dah, selamat belajar, Difanti.”

“Terima kasih, Kak,” sahutku.

Dan begitu melihat Kak Youngmin menyunggingkan senyum manis andalannya, aku pun ikut tersenyum.

 

-fin-

A/N

  • Kisah-kisah ini secara spesial kudedikasikan untuk Nurfitria Difanti (difanfanxiu), Donna Zuna Azaria (thehunlulu), dan Sintia Nur Afifah (ninegust) yang sedang hectic-hectic-nya sebagai siswa kelas dua belas dengan segudang ujian
  • So, there was a time ketika aku seusia mereka dulu (iya sekarang saya udah tua /nangis) dan juga sama hectic-nya, lalu mereka bertiga bikin proyek yang intinya bertujuan untuk menyemangati aku gitu …. Baik banget nggak sih mereka ini?
  • And I think now it’s my time and chance untuk ganti memberi support pada mereka 🙂
  • Untuk kalian bertiga, semangat menjalani ujian akhirnya. Berikan usaha yang terbaik, lakukan yang terbaik, kerjakan semampu yang kalian bisa, jangan mengeluh kenapa ujiannya nggak beres-beres. Pokoknya do the best and let God do the rest
  • Plus, kayak kata Kak Youngmin di atas, jaga kesehatan ya ^^
  • Much love from me ❤ ❤

 

3 thoughts on “Our Personal Supporting System

  1. bacanya udah berasa kayak dinasehatin mama tiap hari yaaa perhatian banget mereka ini :”) andaikan tiap aku belajar ada yang nganterin makanan kaya mingyu, pulang pergi bimbel ada yang jemput trus tanyain kabar, dan belajar di perpus ada yang nyamperin dan bawain kopi… aaahh……….kalo gitu mah aku ngga tidur pun badan sama otakku udah auto power up :’D

    manissss bangetttt ceritanyaaa kakge ❤ gula aren kalah, lolipop kalah, gulali kalah, tapi tetep ngga ada yang bisa ngalahin senyumannya kak hyunjean TT^TT /digetok/
    entah kenapa baca ini berasa keinget partnya hyunjin di mixtape 3 : sometimes i thought can i do this? stuck in the middle between hardship and successful, do my best while I can!
    sama partnya bangchan du mixtape 1 : what's your worry? believe in yourself!
    bener bener sistem pensupport kalian ini hwhwhwhw im so softtt

    nice fic kakge! ❤ ❤ ❤ makasih banyak hadiahnyaaa aku jadi semangat menjalani hidup ini hihihihi keep writing kak!!! ❤ ❤

    Like

How does it taste?