Faded Away

0c2301d3b4f558c731223d9638e914c1

[Kevin Moon x Eleanor Ruth x Ji Changmin]

Ruth pun bertekad untuk menikmati hidupnya dengan serangkaian pengalaman baru.

© 2019 by graesthetic

.

“I’m sorry, Ruth. I’m not the same Kevin you used to know. Lima belas tahun telah berlalu, kita sudah memiliki kehidupan pribadi masing-masing. Maaf, tapi aku tak bisa menemanimu seperti dulu lagi.”

Demikian sepenggal ucapan Kevin Moon, sebelum dirinya angkat kaki dari kafe bernuansa peach tersebut, meninggalkan Eleanor Ruth yang berselimutkan kebingungan. Ketika gadis rambut burgundy itu akhirnya berhasil mencerna perkataan Kevin, kursi di hadapannya sudah terlanjur kosong.

Kevin Moon, tetangga masa kecilnya. Suatu kondisi klise untuk dijadikan sebagai latar belakang awal sebuah kisah cinta yang manis, layaknya cerita yang sering Ruth baca dari kumpulan novelnya. Namun, hidup bukanlah fiksi, bukan juga fantasi. Ia memang boleh terpisah dengan Kevin untuk sepuluh tahun, ketika keluarga kecil pemuda itu memutuskan untuk pindah ke kampung halaman mereka di Korea Selatan. Mereka mungkin akan—dan telah—dipertemukan kembali setelah satu dekade tak bersua, tetapi tidak berarti bahwa kisah mereka akan sama dengan pemeran utama novel romansa. Bukan berarti pertemuan mereka menjadi awal dari cerita cinta dengan akhir bahagia.

Di benak Ruth, Kevin masihlah seorang bocah Asia berkacamata bingkai hitam yang lugu. Rumah mereka di Vancouver hanya berjarak beberapa meter, yang menyebabkan tingginya frekuensi kunjungan mereka ke rumah satu sama lain. Kevin tak pernah lupa menemaninya pulang sekolah, taj lupa menggandeng tangan gadis itu bila tiba waktunya menyebrang. Berkemah di halaman belakang rumah, membuat S’more hingga kimbap—makanan Korea pertama yang Ruth kenal—bersama, hingga tidur siang di rumah pohon sudah pernah Ruth lakukan bersama Kevin. Bahkan bila ditilik ulang, banyak momen ‘pertama dalam hidup’ sang gadis yang ia lalui bersama Kevin.

Tak ada yang lebih menyedihkan selain mendengar kabar kepindahan keluarga Moon, yang berarti Ruth tak dapat lagi bermain dengan tetangganya tersebut. Butuh hampir enam bulan sampai Ruth terbiasa dengan ketiadaan Kevin. Tapi dalam lubuk hati sang gadis kecil, ia berikrar kalau suatu hari nanti ia akan bertemu lagi dengan Kevin.

Hal itulah yang membuatnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Korea Selatan. Dengan modal nekat, Ruth terbang dan menjejakkan kaki di negeri ginseng tersebut. Kevin tak pernah menceritakan apapun tentang Korea Selatan semasa kecil mereka, dan ini adalah pertama kalinya bagi dara tersebut untuk berpergian ke tempat ribuan kilometer dari kampung halamannya. Semua ia tempuh hanya untuk satu alasan: Kevin Moon.

Tetapi semua perjuangannya berakhir naas. Seperti yang Kevin ucapkan, banyak hal yang telah berubah selama sepuluh tahun. Keduanya sudah memiliki kehidupan masing-masing. Terputusnya kontak selama satu dekade itu membuat Ruth tidak mendapat kabar apa-apa mengenai Kevin, bagaimana kehidupannya di Korea, pengalaman apa saja yang dapat Kevin bagikan semenjak tinggal di kampung halaman orang tuanya, dan sebagainya. Ketika akhirnya mereka bertemu kembali, Kevin telah berubah. Sangat. Ia bertumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan—tentunya—tetapi memiliki perangai buruk. Menghabiskan uang demi berbotol-botol bir di kelab malam serta mempermainkan hati para gadis adalah hobi barunya.

Dan Eleanor Ruth tak dapat menyembunyikan keterkejutannya sama sekali.

Ruth tak ingin berharap banyak pada Kevin yang sekarang. Bila pertemuan pertama mereka saja sudah buruk layaknya hari ini, bukan tidak mungkin Kevin akan mencampakkannya di depan umum, sama seperti yang ia lakukan terhadap gadis-gadis lain. Ruth rindu Kevin yang dulu, tetapi ia sadar bukan hal yang mudah untuk mengubah sifat seseorang yang telah sepuluh tahun terbentuk.

Masalahnya, Ruth tidak punya orang lain yang bisa ia andalkan di Korea. Ia tidak punya siapa-siapa yang bisa membantunya hidup di tanah yang asing baginya. Satu-satunya alasan mengapa ia memilih nekat untuk berpindah benua hanya demi menemui Kevin. Dan kini ketika pemuda darah Moon itu menolak presensinya, dunia Ruth hancur seketika.

Gadis darah Kanada-Portugal itu menelungkupkan wajah di atas meja, lantas menangis dengan suara amat pelan.

Kalau saja ia lebih memikirkan secara logika, mengesampingkan rindunya yang membuncah, mencari tahu terlebih dahulu kabar serta fakta mengenai Kevin dan Korea Selatan, tentu keadaannya tidak akan semenyedihkan ini.

Berbagai rutukan mencuat dalam pikiran gadis burgundy itu, membuat rasa sedihnya makin menjadi-jadi.

“Uhm, excuse me ….

Ruth menghapus air matanya secara kasar dengan punggung tangan, lalu mengangkat kepalanya untuk merespons panggilan tersebut. Seorang pelayan kafe sedang berdiri di sebelahnya, tersenyum, dan pandangan mereka bertemu. Ruth berdoa agar ia tidak menanyakan apa-apa mengenai mata sembabnya.

“Here … your cookies …. Enjoy,” ucap sang pemuda pelayan kafe dengan bahasa Inggris yang agak tersendat-sendat. Ruth tak ingin bersikap kasar, tetapi kalau boleh jujur ia ingin tertawa.

“Terima kasih,” balas Ruth dengan bahasa Korea.

Binar di obsidian pemuda itu semakin cerah. “Oh, kau bisa bahasa Korea?”

Uhm … sedikit.” Ruth tersenyum. Ya, setidaknya itulah yang bisa ia jadikan sebagai senjata pertahanan hidup di negeri asing ini.

“Baguslah jika demikian,” sahut pemuda itu dengan anggukkan kepala. Ruth juga menganggukkan kepala kecil.

Sang pemuda tak kunjung beranjak dari tempat duduk Ruth. Ia masih berdiri dengan gelisah, memainkan buku jarinya, dan membasahi bibir bawahnya. Kuriositas Ruth sebenarnya tergelitik dengan presensi pemuda tersebut, tetapi ia takut dianggap lancang jika bertanya langsung. Bagaimanapun, ia belum memahami perbedaan budaya Korea secara keseluruhan. Jadi, ia memutuskan untuk berpura-pura tak acuh.

Ehm … sebenarnya, aku tak sengaja mendengar percakapan kalian tadi. Aku merasa harus menghiburmu, dan kebetulan aku teringat bahwa kau belum mengambil jatah kukismu. Kami sedang mengadakan promo gratis seporsi kepingan kukis untuk setiap pembelian santap di tempat. Cappuccino latte hangat sangat cocok disantap bersama kukis, omong-omong.”

Hati Ruth menghangat. Bukan karena tumpukan kepingan kukis di pisin putihnya—ya, kukis-kukis tersebut juga sedikit berkontribusi—melainkan karena senyum lebar pemuda di hadapannya ini. Ada suatu hal tak terdeskripsikan yang gadis itu rasakan, tetapi ia merasa gundah gulananya perlahan sirna. Kurva di bibir sang pemuda layaknya surya cerah yang menyinari embun pagi yang dingin dan membuatnya menguap.

“Saya tinggal dulu. Selamat menikmati pesanan Anda,” ucap sang pemuda pelayan kafe sebelum beranjak dari titik pijakannya.

Ji Changmin. Nama yang tertulis di tag nama kemeja putih pemuda tersebut, yang sempat terbaca oleh Ruth satu sekon tepat sebelum Changmin membelakanginya. Ruth mengambil sekeping kukis, mencelupkan setengah bagiannya dalam kopi, lalu menggigitnya kecil. Seulas senyum kecil terbentuk di labium merahnya.

Gadis itu mengedarkan pandangan ke luar kafe melalui jendela di sebelahnya. Ia menghirup napas dalam. Baiklah, Kevin Moon mungkin boleh mencampakkannya. Kevin Moon boleh mengabaikannya, menolak eksistensinya, bahkan memporakporandakan perasaannya. Tetapi Ruth bertekad untuk sama sekali tak terpengaruh. Kini, ia beranggapan bahwa kedatangannya ke Korea adalah demi mencari pengalaman baru. Seperti apa yang Kevin katakan, mereka telah memiliki hidup pribadi masing-masing. Ruth pun demikian. Mulai hari ini, kehidupan pribadinya akan diisi dengan serangkaian momen baru di Korea. Makanan baru, tempat baru, suasana baru, budaya baru.

Bahkan bertemu orang baru.

Seperti Ji Changmin.

Pemuda dengan senyuman sehangat sinar mentari.

 

-fin-

A/N

  • Jadi, setelah Kim Sunwoo, sekarang giliran Kevin Moon dan Main Dancer Q yang membuat aku jatuh dalam pesona mereka. Ntah lah habis ini siapa lagi yang buat aku jatuh cinta
  • Sebenarnya Kevin baik ya tapi kok aku buat dia jadi b*j*ng*n ya di sini hahaha
  • Haruskah aku debutkan Eleanor Ruth sebagai OC resmi?
  • Gimana caranya nggak jatuh cinta sama The Boyz? :”)

 

How does it taste?